Diksi 3
Harapan dan Doa
Pesantren yang baru
beberapa hari ini kutempati masih terlalu sepi. Beberapa santri masih
terlena dengan liburan mereka di kampung halaman masing-masing. Di
asrama, kami hanya berlima, dan aku pun sudah lebih dari cukup untuk
dibilang akrab dengan mereka.
Suatu sore
di hari
ketiga sejak aku tinggal di asrama, aku sedikit berkeliling pesantren
seorang diri. Melihat seluk-beluk pesantren yang belum sempat aku
kunjungi. Tak ada gerbang di depan pesantren kami, ataupun pagar yang
menjulang tinggi. Semuanya begitu terbuka untuk sekedar keluar masuk
siapa saja. Aku melewati rerumutan yang kini berubah menjadi jalan
setapak dan tampak rumput-rumput muda yang terus berjuang untuk
kembali menghijau, tapi ayal, langkahku tepat diatasnya dan
membuatnya gugur sebelum ia mampu mencapai cita-citanya. Walau begitu
generasimu akan tahu bahwa jasamu untuk kemerdekaan rakyatmu begitu
berarti.
Jalanan setapak yang ku
lewati begitu becek, hujan membuatnya mengalah untuk ia menjadi
sekumpulan lumpur yang selalu menggoda para pejalan kaki, sehingga
sandal jepit yang aku kenakan begitu berat untuk sekedar mengangkat
kaki kecilku. Di ujung jalan setapak tersebut tampak jalan yang
cukup untuk lalulintas kendaraan bermotor yang sepertinya merupakan
jalan utama. Dan tak kalah dengan jalan setapak yang aku lalui,
jalanan ini pun begitu becek hingga terlihat bekas-bekas kaki yang
terhujam tertelan lumpur. Di sisi kiri jalan tersebut berjejer dua
rumah bata merah dengan bentuk yang sama, sedang disisi kanan
terdapat sebuah rumah dengan pagar tinggi yang mengelilinya, tampak
mewah dan bahkan rumah ini lebih bagus daripada pesantren baruku dan
ternyata pagar rumah tersebut adalah satu bangunan dengan bangunan
kelas kami. Setelah tiga rumah tersebut masih ada satu rumah dengan
gaya seperti sebuah hotel mini, dua bangunan sama yang saling
berhadapan, kemudian disebelah kanan dua bangunan tersebut ialah
bangunan pertama yang digunakan sebagai ruang keluarga dan beberapa
kamar. Selainnya hanyalah tanah kosong yang ditumbuhi rerumpuntan dan
sepertinya lahan tersebut akan digunakan untuk pemukiman.
Aku menelusuri jalan
utama yang dipenuhi lumpur, tampak di ujung tanah kosong tadi
beberapa rumah yang juga masih berbatu bata merah. Dua rumah
tepatnya, hitunganku sedikit keliru, karena kata “Beberapa” itu
mencakup jumlah yang banyak, tidak hanya dua. Berarti total rumah di
sekitar pondok kami ialah lima ditambah rumah para asatidz yang
berjumlah enam, totalnya ialah sebelas, satu lusin kurang bahkan.
Tapi perjalanan hidup adalah seperti deretan nasib, karena nanti
disaat aku lulus dari pesantren ku ini, pondok kami akan di temani
beberapa tetangga, ingat “beberapa” yang menunjukan bahwa akan
banyak tetangga di sekitar pesantren kami.
(^_^)
Tepat pukul setengah dua
dini hari kereta yang aku tumpangi akhirnya tiba di stasiun terakhir
Pasar Turi. Surabaya. Aku melangkah keluar dengan tas besar yang
memberati punggungku. Sudah dua kali aku menginjakkan kaki di stasiun
Pasar Turi, pertama ketika tes mahasiswa baru. Saat itu aku berdua
dengan seorang teman yang qadarullah harus bersabar karena ia
dinyatakan untuk terlebih dahulu mendalami ilmu dikampung halaman,
artinya ia tidak lulus tes. Maka kini di negri antah berantah tanpa
kerabat dan tidak pula satu kenalan pun aku sendiri. Padahal beberapa
waktu lalu aku masih dalam kehangatan keluargaku tercinta, tawa dan
canda bersama teman sebaya. Tapi sebongkah gerbong tua yang berderet
telah memisahkan aku dari mereka semua.
Surabaya masih terkantuk
kala aku tiba disana. Para penduduknya lebih memilih bergemul dalam
selimut sembari memeluk pasangan hidup masing-masing. Di setasiun
yang sedikit ramai pun kini lenggang. Rombongan yang turun bersamaku
kini telah pergi satu-satu, beberapa lainnya lebih memilih menunggu
pagi di teras-teras toko, atau meluruskan kaki di pelataran setasiun.
Mungkin mereka juga sendiri, tak ada kerabat yang bisa ditumpangi
untuk rehat walau sejenak. Salah satunya aku. Sebelum akhirnya aku
terhenti di teras toko 24 jam yang terletak di area setasiun,
terlebih dahulu aku memesan segelas kopi untuk menghangatkan badan
dari angin malam yang begitu dingin. Dengan hanya ditemani segelas
kopi tersebut aku menghabiskan sisa malam pertamaku di pojok kota
Surabaya, menunggu pagi. Sesekali kepalaku terkantuk-kantuk tak kuasa
menahan beban mata yang begitu ingin dimanja. Sambil tetap terus
waspada, terdengar samar-samar langkah kaki beberapa orang yang
datang dan pergi dari toko tempatku beristirahat, aku tak
mempedulikan mereka, selama barang dan tas yang aku bawa masih setia
disisiku, aku tak perlu khawatir.
HP yang aku bawa sedari
tadi sudah meregang nyawa. Disekitar toko yang aku tumpangi juga
tidak menyediakan pelayanan cargher ulang HP. Sepertinya untuk
sementara ia harus istirahat hingga aku sampai tujuan, yaitu Jember.
Masih butuh waktu sekitar enam jam dari terminal Purabaya untuk
sampai ke Jember. Biasanya aku memilih menggunakan bus patas dengan
formasi kursi 3-2, selain karena tarif yang lebih murah sepertinya
tak ada alasan lain untuk aku memilih bus tersebut.
Kopi yang aku pesan kini
tinggal tersisa beberapa teguk, sudah tak ada rasa hangat di kopi
itu, mungkin karena angin malam Surabaya yang begitu dingin menusuk
membuatnya lebih cepat dingin. Aku nikmati tegukan terakhir, bagiku
sedikit apapun yang kita makan dan minum, jika kita biarkan dan kita
tahu bahwa kemungkinan besar sisa yang sedikit itu tak berguna bagi
oeang lain dan hanya akan terbuang, maka menyia-nyiakannya adalah
perbuatan mubadzir. Biarlah orang lain berpikir bahwa aku kelaparan
dan sebagainya, karena aku tahu bahwa disana, di ujung dunia lain
masih banyak saudara kita yang hanya untuk sesuap nasi harus ia tahan
berhari-hari. Karena perbuatan mubadzir sedikit apapun jika kita
jumlahkan dengan kemubadziran semua orang di dunia ini, tentu sisa
yang mereka buang itu cukup untuk membuat kenyang ratusan orang
kelaparan. Dan aku tidak mau menjadi bagian dari salah-satu orang
yang suka perbuatan mubadzir.
Rupanya satu teguk
terakhir kopi yang aku minum telah menyegerakan fajar untuk muncul ke
garis horizontal. Adzan subuh dari masjid stasiun yang terletak di
luar pagar terdengar begitu syahdu. Aku bergegas melangkahkan kakiku
kesana, dan pada setiap langkah kaki yang kita arahkan ke masjid
untuk menyeru panggilannya, terdapat satu pahala dan penghapus dosa.
Ketika mayoritas saudara kita lainnya terlelap dalam lamunan mimpi,
disisi lain beberapa orang dari hamba Allah menegadah dan beribadah
kepadanya, karena sesungguhnya shalat itu telah ditetapkan waktunya
bagi orang-orang yang beriman.
Komentar
Posting Komentar