Khilafah; Cara dan Subtansinya


Pun bagi saya, bukanlah orang yang hanya bermodal semangat kemudian teriak-teriak khilafah dan jihad. Bukan karena takut,
ga berani atau putus asa, jihad itu bukan sekedar angkat senjata tembak kanan dan kiri, tapi harus sesuai syarat dan rukunnya, baik berupa adanya Amiir jihad, Raayah dan al-quwwah, sehingga tidak asal mangkat ke Israel. Begitupun khilafah yang hanya ibarat bonus, itu bukan karena pesimis ataupun putus asa, karena memang bukan itulah (khilafah) tujuan da`wahnya para anbiya` dan rusul. Musa, dengan ribuan pengikutnya, bukanlah tidak mungkin untuk membentuk khilafah dan menghancurkan keangkuhan fir`aun, apakah takut kemudian putus asa? Tentu tidak! Bahkan perintah Allah tetap dilaksanakannya dengan sedikit gentar yang kemudian Allah kuatkan dengan sepupunya, Harun.

Perintahnya jelas, sekalipun Fir`aun adalah mahkluk Allah yang sangat keras, namun pokok da`wah berupa lemah lembut tetap diutamakan, ''Faquulaa lahu qaulan layyinaa...” Maksud saya, ini bukanlah sikap pesimis untuk tercapainya khilafah, tapi memang bukanlah tujuan para nabi dan rasul itu yang utama ialah khilafa, tapi da`wah. “walaqod ba`atsnaa fii kulli ummatin Rasuulan, Ani`budullah waj tanibuu thaghut” Seorang rasul hanya diperintah untuk tatap berdakwah kepada tauhidiyyah, tidak disebutkan disitu Kilafah.

Namun bukan kemudian tatkala seruan jihad dikobarkan, kemudian lari keteteran karena ketakutan. Justru disitulah ladang pahala. Apalagi berperang melawan Syi`ah AlMajusi, karena memang mereka bukanlah saudara kita lagi. Memang urusan takfir itu dikembalikan kepada Allah dan Rasulnya, sehingga setiap muslim tidk seenaknya mengkafirkan saudara sesama. Tapi berbeda dengan syi`ah, syurut takfir kepada mereka sudah mutawafir mutawatir.

Saya disini9 menyinggung syi`ah ghulat dari para pentolan-pentolannya, bukan yang dibodohi semata kemudian taqlid buta, maka ada maani` penghalang bagi awwam syi`i dari syurut takfir berupa Jahl atau lainnya serupa ikrah paksaan. Dan dakwah mereka tidaklah cukup dengan hikmah dan mau`idzhoh, tapi perlu ada semisal ta`ziir atau `iqaab lainnya seprti pengasingan supaya yang selainnya jera dan lebih mengena untuk diambil pelajaran. Saya tidak mengajak mengajak untuk memerangi mereka, tapi kekufuran mereka sangatlah nyata, sedang hukum bagi mereka bukanlah seprti kafiirin dari Yahudi dan Nasrani, atau Hindu Budi, yang memang berhak untuk mendapat jaminan keselamatan jika ia dzimi, tapi tidak dengan Syi`ah, hukum mereka ialah riddah, murtad yang berhak mendapat `iqaab syadidah berupa qatl atau bunuh.

Dan sangat disayangkan ketika ada seseorang atau oknum aparat yang masih belum terbuka mata dan sadar akan bahaya mereka dan kemudian melindunginya hanya karena keutuhan NKRI atau jangan terjadi saling hunuh antar WNI, apalagi ia seorang yang paham akan ahkam namun kemudian sangat disayangkan karena sedikit ideologis nasionalis ia masih mencarikan alasan untuk membela yang bahkan oleh Imam Ali, demi menjaga keutuhan negara kala itu, pentolan utama syi`ah yang jika tanpa dihalangi para sahabatnya, ia akan membakarnya hidup-hidup, namun urung dan kemudian mengusirnya.

Dan itu layak didapatkan oleh kaum syi`i di negri ini, jika kita tidak mampu membunuhnya maka kita harus mengusirnya. Bukan karena alasan “NKRI Harga Mati” kemudian mereka bisa hidup tenang di negri ini. Bahkan karena alasan keutuhan tersebutlah kaum Syi`ah harus dibasmi. Apa kita lupa dengan apa yang terjadi antara Husain kala itu.? Kita lupa atau melupakan? Begitupun dengan keruntuhan daulah Abbasi, itu ulah siapa? Kalo disuruh buika sejarah, mari kita buka kembali, mana bukti bahwa jihadnya nabi hanya bersifat membele diri, karena fakta nyata sebab dari perang agung di Badr ialah pengejaran atas kafilah dagang Abu Sufyan. Lalu bagaimana pula dengan Usamah bin Zaid yang tetap berangkat bersama pasukannya sedang orang terkasihnya pergi meninggalkannya dari dunia, karena selain pembelaan, penyerangan kita juga harus melakukan penjagaan dan pembersihan supaya negri kaum muslimin tetap aman, terlebih golongan yang sedang kita bicarakan ini telah merancang bermacam cara dan usaha untuk menguasain negara kita. Apa kita diam saja tanpa pembelaan, persiapan agar supaya NKRI dan WNI yang kita cinta ini tetap aman dan damai versi sampean hingga nanti para kafir majusi menguasai.

Sedang terhadap para aparatur yang punya kewenangan, hendaknyalah memang mensterilkan negri ini dari bermacam penyakitnya. Dan alhamdulillah itu telah terwujud sebagian dengan adanya fatwa MUI, namun bagaimana dengan Polisi? Tatkala MUI memfatwakan bahwa Syi`ah sesat dan membahayakan, ini karena kecemburuan mereka terhadap agamanya yang dinoda, dan juga untuk menjaga keutuhan negara, namun Bapak Baju Ijo muda tersebut melindunginya, menjaganya karena alasan keamanan dalam versi lain.

Dan disinilah tugas da`i, membina dan meluruskan. Jika itu semua terwujud, sekalipun dimaulai dari golongan terminoritas sekalipun, tapi tatkala bidaan dan bimbingan para da`i tersebut sampai dan didengar, kemudian diijabahi dan diamalkan oleh kalangan atas, tentunya akan ada kesinambungan antara da`i (MUI) dengan bapak Polisi.

Tapi nyatanya malah pesimis kemudian mengira Khilafah tidak akan tegak dizaman ini. Jika dikatakan banyak mafsadat dan mudharatnya, itu karena cara dan pribadinya yang lebih memilih hawa nafsu. Caranya salah karena khilafah dijadikan tujuan, maka kata bonus itu memang mendekati tepat dari karunia. Bagaimana tidak banyak mafsadatnya jika menginginkan khilafah caranya Demo, yang didemo siapa? Pemimpinnya, supaya berhukum dengan sistem Khilafah, sedang memimpinnya ga tau apa khilafah, maka yang tejadi ya bentrok-bentrok dan bentrok. Sekali lagi, khilafah hanyalah satu dari bermacam wasilah dunyawiyyah sedang yang utama itu DAKWAH. Karena tatkala Ummat telah berilmu, mereka akan siap dengan iman yang mantap, jangankan cuma teriak khilafah, potong tanganpun SIAP. Kalo tidak siap, coba ditilik lagi, bisa jadi belum sampai ilmu atau ikut hawa nafsu. Lha terus pie? Demokrasi, itukan maksutnya? 

Various, Credit By:

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ANTARA NU, WAHHABI dan SYI`I