Diksi 2



Wingko Babat

Semenjak kecil aku telah terbiasa merantau. Berpuluh kali aku selalu pergi sendiri, jauh ataupun dekat, bahaya ataupun waspada, berminggu-minggu hingga bertahun-tahun. Bagiku bepergian adalah sesuatu yang menyenangkan, menikmati sajian alam yang begitu luar biasa, menjadi seorang backpaker
dengan hobi mengelilingi dunia yang tak hanya terbatas di laman internet, mendatangi, melihat, merasakan dan menceritakannya kepada orang lain. Aku selalu betah melihat kemerlip indah lampu-lampu kota dari balik jendela bus antar kota, atau menerawang jauh mencari setitik cahaya di hamparan sawah nan luas dari dalam kereta, atau menunduk dalam mengamati kerlip ubur-ubur di lautan dari atas dek kapal penyeberangan.

Aku masih belum sadar sepenuhnya ketika segerombolan pedagang asongan menyerbu masuk menawarkan bermacam barang dagangan yang mereka bawa. Perlahan kubuka mataku yang belum sepenuhnya rela melepaskan tidur ayamnya, kulirik jam di HP, tepat pukul 24:00. Ternyata kereta ekonomi dengan sandaran bangku tegak lurus ini mampu mebuatku sedikit terlelap, berarti sudah hampir dua jam lebih sejak aku terpejam sekitar awal pukul sepuluh tadi. Sesuai petujuk di tiket, masih ada sekitar satu jam setengah untuk sampai ke stasiun tujuan. Kucoba memandang keluar, mencari papan petunjuk dimana kereta berhenti, hingga mataku tertuju pada satu tulisan tepat didepan sebuah pintu masuk bagi para penumpang yang akan datang, Stasiun Babat, itulah yang kudapat, cukup untuk mengobati rasa penasaran sesaat.

Aku mencoba memperhatikan sekitar, beberapa orang tampak terlelap dengan kepala sedikit tertunduk kebawah, beberapa lainnya tergeletak seenaknya di bawah bangku-bangku penumpang dengan alas koran yang sengaja dijual seribuan, dan beberapa lainnya tertunduk sibuk dengan gadget masing-masing. Gerbong dengan jumlah penumpang sekitar seratus lima puluh penumpang ini seakan terasa begitu sempit ketika gerombolan pedagang menerobos masuk, melangkahi kaki-kaki para penumpang yang tergeletak di bawah bangku, berteriak menawarkan bermacam dagangan mereka, membangunkan beberpa orang yang hanya tidur ayam, dan terdengar beberapa bayi yang berteriak lantas menangis, mungkin kaget dengan teriakan para pedagang tersebut.

Duduk disebelahku seorang ibu muda cantik yang sejak awal kereta berangkat ia selalu memainkan gadgetnya, dan tampak sesekali terpejam tak kuasa menahan kantuk yang mendera. Sedang didepanku seorang laki-laki dengan umur sekitar tigapuluhan mungkin, ia tampak cocok dengan kemeja kotak-kotak yang ia kenakan. Duduk disamping laki-l;aki tersebut seorang ibu paru baya yang sedang meninabobokan bayi kecilnya yang terbangun karena teriakan para pedagang, sesekali si bayi menangis dan kemudian terlelap lagi. Tak kalah seru dengan si ibu yang tak henti-hentinya bercerita tentang banyak hal. Bagaimana anaknya yang baru lulus sarjana, atau kakak si bayi yang sering nakal kepada sang adik dan banyak lainnya tanpa peduli bahwa kami sudah cukup penat dengan perjalanan kami.

Aku mencoba berpaling dari cerita nan “horor” tersebut. Ku arahkan pandangan ku berkeliling mencari sesuatu yang berbeda dari para pedagang tersebut. Hingga aku terhenti pada seorang pedagang yang seolah kewalahan membawa barang dagangannya, “wingko mas... wingkonya... masih anget, asli Babat” Serbunya kepadaku begitu pandangan kami bertemu. Aku sedikit tertarik mendengar namanya yang unik dan sepertinya mahal, pikirk. Namun sepertinya aku harus sering belajar bersabar. Karena kalkulasi keuanganku hanya cukup untuk hitungan uang makan tanpa ada jajan tambahan. Padahal, sekalipun aku belum pernah tahu apa dan bagaimana rasa dari Wingko Babat tersebut, “Biarlah suatu saat mungkin aku bisa beli.” Hiburku pada diri sendiri. Maka sebelum pedagang tersebut semakin tak karuan menawarkan dagangannya, alangkah baiknya untuk segera ku tolak secara halus, “Berapa pak wingkonya?” niatku tertahan, tiba-tiba ibu beranak di depanku berteriak dengan sedikit keras. Yang segera dijawab oleh si penjual “Tiga duapuluh Bu, asli Babat, isi full semua ga ada yang kosong.” Jelas si bapak. Ku perhatikan ibu beranak tersebut, naluri jua-belinya keluar, siap-siap dengan adegan tawar-menawar sadis yang akan terjadi. “Sepuhu ribu tiga pak? Aku mau beli banyak” Tebakanku tepat, sangat sadis bahkan. Si bapak seaka sudah berpengalaman menghadapi pembeli tipe nenek sihir tersebut, ia coba mengelak “belom Bu. Ini murah, baru ambil dari pembuatnya” Si Ibu tampak cuek, tak mau mengalah, begitupun si Bapak pedagang, juga tak mau mengalah. Masing-masing kokoh dengan pendiriannya, baginya menurunkan harga samasaja bunuh diri, dan bagi si Ibu membuat turun menjadi sepuluh ribu adalah gengsi, dapat menaikan citra diri.

Dimana pun laki-laki lebih banyak mengalah daripada wanita. Dan si bapak berpikir “mungkin ini rejeki yang dikirimkan tuhan untukku hari ini.” Tampak si Ibu yang begitu puas dengan memborong beberapa bungkus wingko, begitupun ibu muda di sampingku , yang semula tidak tertarik samasekali, tapi kini ia engeluarkan empat lembar sepuluh ribuan, dan juga si laki-laki berkemeja, kini ia menjadi sedikit lebih konsumtif. Rupanya harga tetap menjadi masalah klasik diantara kita.



Semenjak kecil aku telah terbiasa merantau. Berpuluh kali aku selalu pergi sendiri, jauh ataupun dekat, bahaya ataupun waspada, berminggu-minggu hingga bertahun-tahun. Bagiku bepergian adalah sesuatu yang menyenangkan, menikmati sajian alam yang begitu luar biasa, menjadi seorang backpaker dengan hobi mengelilingi dunia yang tak hanya terbatas di laman internet, mendatangi, melihat, merasakan dan menceritakannya kepada orang lain. Aku selalu betah melihat kemerlip indah lampu-lampu kota dari balik jendela bus antar kota, atau menerawang jauh mencari setitik cahaya di hamparan sawah nan luas dari dalam kereta, atau menunduk dalam mengamati kerlip ubur-ubur di lautan dari atas dek kapal penyeberangan.

Aku masih belum sadar sepenuhnya ketika segerombolan pedagang asongan menyerbu masuk menawarkan bermacam barang dagangan yang mereka bawa. Perlahan kubuka mataku yang belum sepenuhnya rela melepaskan tidur ayamnya, kulirik jam di HP, tepat pukul 24:00. Ternyata kereta ekonomi dengan sandaran bangku tegak lurus ini mampu mebuatku sedikit terlelap, berarti sudah hampir dua jam lebih sejak aku terpejam sekitar awal pukul sepuluh tadi. Sesuai petujuk di tiket, masih ada sekitar satu jam setengah untuk sampai ke stasiun tujuan. Kucoba memandang keluar, mencari papan petunjuk dimana kereta berhenti, hingga mataku tertuju pada satu tulisan tepat didepan sebuah pintu masuk bagi para penumpang yang akan datang, Stasiun Babat, itulah yang kudapat, cukup untuk mengobati rasa penasaran sesaat.

Aku mencoba memperhatikan sekitar, beberapa orang tampak terlelap dengan kepala sedikit tertunduk kebawah, beberapa lainnya tergeletak seenaknya di bawah bangku-bangku penumpang dengan alas koran yang sengaja dijual seribuan, dan beberapa lainnya tertunduk sibuk dengan gadget masing-masing. Gerbong dengan jumlah penumpang sekitar seratus lima puluh penumpang ini seakan terasa begitu sempit ketika gerombolan pedagang menerobos masuk, melangkahi kaki-kaki para penumpang yang tergeletak di bawah bangku, berteriak menawarkan bermacam dagangan mereka, membangunkan beberpa orang yang hanya tidur ayam, dan terdengar beberapa bayi yang berteriak lantas menangis, mungkin kaget dengan teriakan para pedagang tersebut.

Duduk disebelahku seorang ibu muda cantik yang sejak awal kereta berangkat ia selalu memainkan gadgetnya, dan tampak sesekali terpejam tak kuasa menahan kantuk yang mendera. Sedang didepanku seorang laki-laki dengan umur sekitar tigapuluhan mungkin, ia tampak cocok dengan kemeja kotak-kotak yang ia kenakan. Duduk disamping laki-l;aki tersebut seorang ibu paru baya yang sedang meninabobokan bayi kecilnya yang terbangun karena teriakan para pedagang, sesekali si bayi menangis dan kemudian terlelap lagi. Tak kalah seru dengan si ibu yang tak henti-hentinya bercerita tentang banyak hal. Bagaimana anaknya yang baru lulus sarjana, atau kakak si bayi yang sering nakal kepada sang adik dan banyak lainnya tanpa peduli bahwa kami sudah cukup penat dengan perjalanan kami.

Aku mencoba berpaling dari cerita nan “horor” tersebut. Ku arahkan pandangan ku berkeliling mencari sesuatu yang berbeda dari para pedagang tersebut. Hingga aku terhenti pada seorang pedagang yang seolah kewalahan membawa barang dagangannya, “wingko mas... wingkonya... masih anget, asli Babat” Serbunya kepadaku begitu pandangan kami bertemu. Aku sedikit tertarik mendengar namanya yang unik dan sepertinya mahal, pikirk. Namun sepertinya aku harus sering belajar bersabar. Karena kalkulasi keuanganku hanya cukup untuk hitungan uang makan tanpa ada jajan tambahan. Padahal, sekalipun aku belum pernah tahu apa dan bagaimana rasa dari Wingko Babat tersebut, “Biarlah suatu saat mungkin aku bisa beli.” Hiburku pada diri sendiri. Maka sebelum pedagang tersebut semakin tak karuan menawarkan dagangannya, alangkah baiknya untuk segera ku tolak secara halus, “Berapa pak wingkonya?” niatku tertahan, tiba-tiba ibu beranak di depanku berteriak dengan sedikit keras. Yang segera dijawab oleh si penjual “Tiga duapuluh Bu, asli Babat, isi full semua ga ada yang kosong.” Jelas si bapak. Ku perhatikan ibu beranak tersebut, naluri jua-belinya keluar, siap-siap dengan adegan tawar-menawar sadis yang akan terjadi. “Sepuhu ribu tiga pak? Aku mau beli banyak” Tebakanku tepat, sangat sadis bahkan. Si bapak seaka sudah berpengalaman menghadapi pembeli tipe nenek sihir tersebut, ia coba mengelak “belom Bu. Ini murah, baru ambil dari pembuatnya” Si Ibu tampak cuek, tak mau mengalah, begitupun si Bapak pedagang, juga tak mau mengalah. Masing-masing kokoh dengan pendiriannya, baginya menurunkan harga samasaja bunuh diri, dan bagi si Ibu membuat turun menjadi sepuluh ribu adalah gengsi, dapat menaikan citra diri.

Dimana pun laki-laki lebih banyak mengalah daripada wanita. Dan si bapak berpikir “mungkin ini rejeki yang dikirimkan tuhan untukku hari ini.” Tampak si Ibu yang begitu puas dengan memborong beberapa bungkus wingko, begitupun ibu muda di sampingku , yang semula tidak tertarik samasekali, tapi kini ia engeluarkan empat lembar sepuluh ribuan, dan juga si laki-laki berkemeja, kini ia menjadi sedikit lebih konsumtif. Rupanya harga tetap menjadi masalah klasik diantara kita.



Semenjak kecil aku telah terbiasa merantau. Berpuluh kali aku selalu pergi sendiri, jauh ataupun dekat, bahaya ataupun waspada, berminggu-minggu hingga bertahun-tahun. Bagiku bepergian adalah sesuatu yang menyenangkan, menikmati sajian alam yang begitu luar biasa, menjadi seorang backpaker dengan hobi mengelilingi dunia yang tak hanya terbatas di laman internet, mendatangi, melihat, merasakan dan menceritakannya kepada orang lain. Aku selalu betah melihat kemerlip indah lampu-lampu kota dari balik jendela bus antar kota, atau menerawang jauh mencari setitik cahaya di hamparan sawah nan luas dari dalam kereta, atau menunduk dalam mengamati kerlip ubur-ubur di lautan dari atas dek kapal penyeberangan.

Aku masih belum sadar sepenuhnya ketika segerombolan pedagang asongan menyerbu masuk menawarkan bermacam barang dagangan yang mereka bawa. Perlahan kubuka mataku yang belum sepenuhnya rela melepaskan tidur ayamnya, kulirik jam di HP, tepat pukul 24:00. Ternyata kereta ekonomi dengan sandaran bangku tegak lurus ini mampu mebuatku sedikit terlelap, berarti sudah hampir dua jam lebih sejak aku terpejam sekitar awal pukul sepuluh tadi. Sesuai petujuk di tiket, masih ada sekitar satu jam setengah untuk sampai ke stasiun tujuan. Kucoba memandang keluar, mencari papan petunjuk dimana kereta berhenti, hingga mataku tertuju pada satu tulisan tepat didepan sebuah pintu masuk bagi para penumpang yang akan datang, Stasiun Babat, itulah yang kudapat, cukup untuk mengobati rasa penasaran sesaat.

Aku mencoba memperhatikan sekitar, beberapa orang tampak terlelap dengan kepala sedikit tertunduk kebawah, beberapa lainnya tergeletak seenaknya di bawah bangku-bangku penumpang dengan alas koran yang sengaja dijual seribuan, dan beberapa lainnya tertunduk sibuk dengan gadget masing-masing. Gerbong dengan jumlah penumpang sekitar seratus lima puluh penumpang ini seakan terasa begitu sempit ketika gerombolan pedagang menerobos masuk, melangkahi kaki-kaki para penumpang yang tergeletak di bawah bangku, berteriak menawarkan bermacam dagangan mereka, membangunkan beberpa orang yang hanya tidur ayam, dan terdengar beberapa bayi yang berteriak lantas menangis, mungkin kaget dengan teriakan para pedagang tersebut.

Duduk disebelahku seorang ibu muda cantik yang sejak awal kereta berangkat ia selalu memainkan gadgetnya, dan tampak sesekali terpejam tak kuasa menahan kantuk yang mendera. Sedang didepanku seorang laki-laki dengan umur sekitar tigapuluhan mungkin, ia tampak cocok dengan kemeja kotak-kotak yang ia kenakan. Duduk disamping laki-l;aki tersebut seorang ibu paru baya yang sedang meninabobokan bayi kecilnya yang terbangun karena teriakan para pedagang, sesekali si bayi menangis dan kemudian terlelap lagi. Tak kalah seru dengan si ibu yang tak henti-hentinya bercerita tentang banyak hal. Bagaimana anaknya yang baru lulus sarjana, atau kakak si bayi yang sering nakal kepada sang adik dan banyak lainnya tanpa peduli bahwa kami sudah cukup penat dengan perjalanan kami.

Aku mencoba berpaling dari cerita nan “horor” tersebut. Ku arahkan pandangan ku berkeliling mencari sesuatu yang berbeda dari para pedagang tersebut. Hingga aku terhenti pada seorang pedagang yang seolah kewalahan membawa barang dagangannya, “wingko mas... wingkonya... masih anget, asli Babat” Serbunya kepadaku begitu pandangan kami bertemu. Aku sedikit tertarik mendengar namanya yang unik dan sepertinya mahal, pikirk. Namun sepertinya aku harus sering belajar bersabar. Karena kalkulasi keuanganku hanya cukup untuk hitungan uang makan tanpa ada jajan tambahan. Padahal, sekalipun aku belum pernah tahu apa dan bagaimana rasa dari Wingko Babat tersebut, “Biarlah suatu saat mungkin aku bisa beli.” Hiburku pada diri sendiri. Maka sebelum pedagang tersebut semakin tak karuan menawarkan dagangannya, alangkah baiknya untuk segera ku tolak secara halus, “Berapa pak wingkonya?” niatku tertahan, tiba-tiba ibu beranak di depanku berteriak dengan sedikit keras. Yang segera dijawab oleh si penjual “Tiga duapuluh Bu, asli Babat, isi full semua ga ada yang kosong.” Jelas si bapak. Ku perhatikan ibu beranak tersebut, naluri jua-belinya keluar, siap-siap dengan adegan tawar-menawar sadis yang akan terjadi. “Sepuhu ribu tiga pak? Aku mau beli banyak” Tebakanku tepat, sangat sadis bahkan. Si bapak seaka sudah berpengalaman menghadapi pembeli tipe nenek sihir tersebut, ia coba mengelak “belom Bu. Ini murah, baru ambil dari pembuatnya” Si Ibu tampak cuek, tak mau mengalah, begitupun si Bapak pedagang, juga tak mau mengalah. Masing-masing kokoh dengan pendiriannya, baginya menurunkan harga samasaja bunuh diri, dan bagi si Ibu membuat turun menjadi sepuluh ribu adalah gengsi, dapat menaikan citra diri.

Dimana pun laki-laki lebih banyak mengalah daripada wanita. Dan si bapak berpikir “mungkin ini rejeki yang dikirimkan tuhan untukku hari ini.” Tampak si Ibu yang begitu puas dengan memborong beberapa bungkus wingko, begitupun ibu muda di sampingku , yang semula tidak tertarik samasekali, tapi kini ia engeluarkan empat lembar sepuluh ribuan, dan juga si laki-laki berkemeja, kini ia menjadi sedikit lebih konsumtif. Rupanya harga tetap menjadi masalah klasik diantara kita.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ANTARA NU, WAHHABI dan SYI`I