Satu Maaf
Maaf
oleh: Salman Audah
Kepada
supir taksi yang berselisih pendapat denganku tentang ongkos, dan kemudian
pergi tanpa mengambil uangnya. Maafkanlah wahai temanku. Dan saya berharap permohonan
maafku ini sampai kepadamu, walau kau berada nan jauh di Maroko sana.
Nabi shallallahu alaihi wasallam
belum merasa cukup hanya dengan membuka perutnya untuk meminta maaf kepada seorang Sahabt yang ditekan perutnya, tapi
beliau juga mendoakan “Ya Allah, siapapun mukmin yang pernah aku jaci,
jadikanlah itu ampunan baginya.”
Umar naik keatas
mimbar meminta maaf karena telah memecat Khalid.
Dan sebelum mereka, para saudara-saudara Yusuf pun berucap “Wahai ayah
kami1 Mohonkanlah ampunan untuk kami atas dosa-dosa kami, sesungguhnya kami
adalah orang-orang yang bersalah.”
Meminta maaf adalah
budaya dunia. Kaisar Jepang, Nixon, Clinton, semuanya pernah meminta maaf
kepada rakyatnya. Adapun maysarakat arab, mengucapkan maaf dengan kalima
“Fahimtukum.” Saya memahami kalian semua. Yaitu tatkala para penguasa tersebut
hampir terlengser dari kekuasaan.
Juga di jalan-jalan tertulis “maaf mengganggu
kenyamanan anda.” Di Loket, di stasiun dan dimana-mana.
Indah, permohonan maaf
itu. Dan buruk ketika anda berbuat salah dan kemudian mengulangi kesalahan yang
sama.
Bertahun-tahun saya
perhatikan bahwa permintaan maaf tidak menjatuhkan wibawa siapapun. Dan
permintaan maaf yang terindah ialah di saat posisi kita kuat.
Anda meminta maaf
kepada anak anda, pasangan anda, murid anda, pekerja anda, rakyat anda,. Anda
memohon untuk dimaafkan.
Dengan berani seorang
olahragawan meminta maaf kepada teman-temannya, atau wasit kepada seluruh
penonton.
Tapi disana ada
kursi-kursi yang angkuh dan tak mau meminta maaf.
Hujan datang dan
menghanyutkan nyawa yang tak berdaya. Sementara orang yang duduk di kursi-kursi
tidak mempunyai keberanian untuk mengakuinya.
Kita mengingat kembali
musibah dan mimpi buruk pada tahun-tahun yang lain. Tapi para pelakunya
menghilang. Sementara rakyat harus menanggung kesalahan tanpa syarat.
Maaf wahai Tuhanku.
Atas segala perbuatan
yang aku embunyikan dari hamba-hamba Mu. Dan aku lupa bahwa pandangan Mu yang
tak mungkin bisa ditutupi apapun disisimu.
Maafkan aku wahai
ayah.
Engkau pergi mendadak
tanpa aku bisa melepasmu. Sementara hingga usiaku kini belum sampai pada
kesempurnaan yang kau inginkan dariku.
Maafkanlah aku wahai
ibu.
Atas penantianmu di
balik pintu menunggu kepulanganku. Dan sering kali aku datang terlambat pada
saat kebahagiaanmu.
Maafkan aku wahai
anakku.
Engkau tumbuh besar
dengan begitu cepat, sementara aku jauh darimu.
Maafkan aku istriku.
Yang menunggu kalimat
indah, tetapi tertidur sebelum mendapatkannya.
Maafkan, orang yang
hanya aku beri lambaian tangan. Maaf atas jalan yang tertutupi mobilku. Dan
kini aku sadar bahwa sekedar lambaian tak cukup.
Maaf untuk para
guruku.
Yang telah mengajariku
huruf pertama, hingga aku berhasil dan belum sempat berterima kasih.
Maaf untuk para
muridku.
Yang tidak aku terima alasannya
20 tahun lalu sehingga aku keluarkan dari ruangan.
Juga untuk yang lain,
yang telah menemaniku dengan penuh semangat dan harapan, tapi aku sambut dengan
raut wajah berlinang.
Untuk polisi yang
pernah aku bentak di penjara. Untuk teman yang tak bisa aku bantu. Untuk
perkataan yang tak kusaring dan perbuatan bodoh yang kulakukan.
Maaf untuk para
pemuda.
Yang suaraku lebih
rendah dari semangat dan harapannya.
Maaf untuk
keterlambatanku dalam meminta maaf.
Aku meminta maaf lebih
baik daripada aku menanggung beban berat di dalam hati.
Maaf untuk permintaan
maaf yang kuucap, tetapi tidak mengandung unsur pertaubatan; penyesalan, tekad
untuk perbaikan dan tanggung jawab.
Sekali lagi, maaf
saudaraku sopir taksi...!
Gumuk Bago, 25 April 2015
Penyusun
Komentar
Posting Komentar