Diksi 1
Dua Segi
Tak terasa umur sudah
mendekati kepala dua, terhitung tanggung mungkin karena tinggal
setahun lagi. Banyak cerita dan kisah yang perlu dipaparkan, banyak
tawa dan duka yang perlu dijabarkan, sekalipun tak banyak perubahan
yang perlu diperlihatkan. Karena aku
yang sekarang masih sama seperti
yang dulu, dengan berat badan dibawah normal dari orang yang
seumuran, 45kg sejak tiga atau empat tahun lalu hingga sekarang pun
masih sama, dengan cekung dalam di dekat leher, dada rata penuh
tulang kerangka, lengan kecil yang imut dengan jari panjang membentuk
tulah. Ya, itulah aku, tetap aku yang seperti dulu. Banyak orang yang
mengatakan hal itu akan berubah nanti usai menikah. Ah, itukan nanti,
itu pikirku. Karena aku butuh itu semua sekarang, aku butuh sedikit
perubahan fisik yang jelas dan tampak, dengan badan yang sedikit
berisi, ya sedikit saja sudah cukup tentunya.
Bagimana tidak? Padahal
hal itu berpengaruh sangat pada pergaulan ku sehari-hari. Karena aku
selalu melihat dan memprhatikan, bagaimana orang dengan postur tubuh
ideal dan normal akan tampak berwibawa dan tenang dihadapan khalayak,
mereka pede dengan apa yang mereka punya. Lalu aku? Apakah badan
penuh tulang dan sedikit daging ini yang aku pamerkan?
Disinilah aku diuji. Aku
bukanlah orang yang tidak pandai mensyukuri nikmat serprti dua
paragraf diatas. Aku selalu berusaha menampakkan inilah aku apa
adanya, dengan berat walau hanya 45kg dan tinggi rata-rata orang
indonesia. Aku hanya ingin menyampaikan sedikit pesan syukur kepada
Allah bahwa aku telah dan masih diberi kesempatan hidup untuk bisa
merasakan nikmat di dunia ini.
Salah satunya adalah
bahwa aku telah kuliah. Sekalipun sedikit terlambat beberapa tahun,
tapi sungguh aku sangat bahagia. Dulu kala smp aku selalu
membayangkan betapa indahnya kehidupan perkuliahan dengan status
mahasiswa. Dengan kehidupan kosnya, atau tumpukan tugas yang
menggunung, puluhan buku yang tergeletak senbarang dilantai, hingga
diskusi kelas yang seru. Aku selalu ingin seperti itu, ingin
mengalaminya dan menikmatinya, “seperti sebuah petualangan penuh
tantangan” pikirku kala itu.
Maka saat pengumuman
penerimaan dan namaku tertera disana, Mas Abdul yang juga teman
seperjuangan di ma`had, serta merta berteriak girang sambil berlari
dengan selembar kertas penuh nama dan kemudian menarik telingaku
sekeras-kerasnya “Fandiiiiii Kamuuuu lulus teeesss....” Teriaknya
berapi-api. Aku senang, bahagia, gembira dengan segala macam kata yan
semakna dan juga kesakitan karena telingaku ditarik.
Bagaimana aku tidak
bahagia? Sekiranya itu adalah langkah awal dari perubahan hidupku,
dari ratusan pendaftar yang tertolak dan ditolak, dan kudapati namaku
tertera pada nama-nama yang diterima, tentu itu sangat bahagia bukan?
Esoknya segera ku
beritahu kedua orang tua tentang kelulusanku. Karena keduanya berhak
bahagia sebagaimana aku bahagia. Bahkan kebahagian keduanya mungkin
lebih, kaena sebab pengorbanan merekalah aku mampu berada pada titik
awal untuk mencoba perubahan hidup sebagai MAHASISWA yang menurutku
itu sangat keren. Maka tatkala ibuku tahu bahwa anaknya di terima,
hal yangpertama ia ucapkan ialah ALHAMDULILLAH, kata syukur dengan
beribu makna dan tentunya harapan. Begitupun ayahku, yang jerih payah
dan usahanya tak terkira, siang dengan segala peluh dan malam penuh
harap dan doa. Maka usai kata syukur tersebut terucap, aku mengerti
bahwa tanggung jawabku sangatlah besar untuk bakti yang tak akan
terlaksana secara sempurna.
Aku teringat dulu empat
tahun yang lalu, ketika baju putih biru terlepas dari badan mungilku.
Masih sama mungilnya seperti saat ini. Saat itu aku berada di ujung
kelas 9 disebuah pondok pesantren yang terletak di Jawa Barat.
Hidupku memang tidak pernah jauh dari kata PonPes, bermula dari paman
ku dari ibu atu adik ibuku yang sudah terlebih dahulu disekolahkan ke
pondok yang mungkin menurut kedua orangtua ku hal itu membuahkan
hasil, karena pamanku dua orang paman tepatnya, kini semua telah
menjadi “orang” yang mempunyai banyak andil dilingkungannya.
Kembali kecerita, saat
aku kelas tiga itulah aku bgitu kesal. Kepada semuanya, bapak. Ibu,
bahkan pamanku itu. Pasalnya saat libur lebaran, dimana semua santri
mendapat jatah pulang kampung dari sekertariat pesantren, termasuk
juga aku yang terlalu senang bahkan. Karena kami di umur yang sebelia
ini sudah berpisah jauh dari orang tua, setahun sekali kami baru
pulang, sanak kerabat yang jarang menjenguk, bahkan kiriman bulanan
pun seakan datang terantuk-antuk. Tapi itu semua kami jalani dengan
penuh perasaaan, tak ada yang mengeluh diantara kami, karena kami
saling berbagi, berbagi segala yang dapat dibagi, mulai dari jatah
jajan, jatah makan, hingga sampo dan pasta gigi. Padahal orangtua
kami tatkala sesekali datang memberikan uang bulanan selalu berpesan
untuk hemat dan jangan boros, tapi nyatanya kiriman tersebut tidak
bisa bertahan hingga satu minggu.
Yang membuatku begitu
kesal hanyalah bahwa aku pulang untuk tidak kembali lagi. Artinya aku
berhenti, bukan karena dikeluarkan karena bermasalah “tapi orang
tuaku lah yang salah” pikirku kala itu. Bagaimana tidak, aku yang
sejak lulus sekolah dasar, tepatnya tiga tahun kurang lebih, harus
berhent begitu saja, tanpa pamit kepada para ustadz, tanpa perpisahan
dengan para kawan, bahkan tanpa pemberitahuan bahwa aku tidak akan
kembali lagi. Siapapun akan begitu kesal dengan keputusan sebelah
pihak seperti itu.
Maka selama lebih
sebulan berlibur di rumah yang aku lakukan hanyalah meraju, selalu
mengeluh dan mencari bermacam alasan untuk aku bisa kembali lagi.
Minimal hanya untuk berpamitan dan mengucapkan kalimat perpisahan.
Tapi semua itu gagal tanpa hasil.
Usut punya usut.
Ternyata pamanku yang tersebut diatas yang sebelumnya belajar di
Saudi Arabia telah pulan kampung , dan kabar lainnya sekarang beliau
mengajar disebuah pondok pesantren di kota kami. Aku sedikit paham.
Dan kabar lainnya, bahwa pamanku lah yang menyarankan untuk aku
dipindahkan ke pesantren tempatnya mengajar. Tepat, pasti itu
maksutnya. Aku terus meraju, berbagai upaya kucoba untuk supaya aku
tidak dipindahkan, atau minimal aku bisa bertandang untuk berpamitan
terakhir kalinya. Namun itu semua seakan sia-sia. Pena telah
terangkat dan catatan takdir telah kering.
Dan beberapa minggu
kemudian secara resmi aku telah berpindah atau dipindahkan barang
kali, kesebuah pondok pesantren di kota ku. Banyak hal asing yang
akan aku dapati, guru-guru yang asing, teman yang asing, lingkungan
yang asing, kamar yang asing, hingga lemari baju yang asing. Semua
serba asing dan baru tentunya.
Hal itu terbukti. Begitu
aku tiba di asrama, betapa banyak wajah-wajah asing yang tak aku
kenal. Aku coba menyapa meraka yang didalam dengan sebuah salam
“Assalam alaikum” Sapaku. Beberapa diantara mereka menoleh
kearahku dan spontan menjawab salam yang aku ucap tadi. Aku melangkah
masuk, ruang berukuran 5x6 ini seakan terasa sedikit sempit dengan
sebuah lemari loker besar yang berada ditengah-tengahnya, ada
beberapa loker kosong yang terbuka tanpa pintu, beberapa lainnya
tertutup dengan kunci yang menggantung didepannya. Dibelakang lemari
tersebut terdapat beberapa lemari plastik kecil dengan beberapa
lipatan baju diatasnya. Aku masuk kedalam, mencari sedikit tempat
lapang dilantai asrama. Tak ada karpet sebagai alas ataupun untuk
kami gunakan tidur diwaktu malam seperti di pesanternku dulu. Lantai
dengan ubin putih itu polos tanpa sesuatu diatasnya, tampak bersih
karena sering disapu.
Aku memilih untuk
meletakkan barang-barangku di pojok asrama, belum sempat aku
meletakkan tas-tas yang memberatkan punggungku, seseorang datang dan
meyapaku, terlihat senyum diujung bibirnya, senyum tulus perkenalan
tentunya.
“Mas maaf, disitu
tempat saya,” Sapanya.
Aku mengangguk “Oh ya
silahkan” jawabku, sembari bergeser beberapa ubin dari tempat
tersebut.
“Ini semua sudah ada
yang nempatin mas” lanjutnya, “tinggal dekat pintu masuk yang
kosong.”
Aku bergeser lagi, tas
yang hampir aku turunkan kuangkat lagi.
“Namaku Lathif, Abdul
Lathif” Sapanya memperkenalkan diri.
“Aku Rio, Achmad Vario”
jawabku sekenanya. Tampak ia sedikit aneh dan tertawa mendengar
namaku seperti itu “nama motor” mungkin pikirnya.
Kemudian beberapa
pembicaraan kami dimulai, ia menceritakan asal-usulnya, dulu bekerja
apa, hingga menyebutkan nama-nama orang yang telah mengkapling
petakan lantai tersebut. “Ini kalo malam kita orang tidur disini
mas, nggelar kasur disini” katanya sambil menunjuk tumpukan kasur
diatas loker besar tadi. Ada juga lipatan lain seperti sebuah
jaring-jaring kecil yang aku pikir itu sebuah kelambu. “Itu kelambu
ya mas?” Tanyaku menyelidik. “Iya.”
Kesabaran dalam hidup
menjadi sebuah bekal mutlak. Banyak orang yang mempunyai keinginan
menggebu, cita-cita yang agung, namun ia gugur ditengah jalan karena
kehabisan bekal berupa kesabaran tersebut. Sedang orang-orang besar
yang melangkah dari nol, mereka sukses karena mempunyai kesabaran
yang matang. Aral melintang baginya ialah medang juang, tanpa itu
semua hidup mereka serasa pincang. Cerita dan motivasi seperti ini
banyak disebutkan dikalangan pesantren. Mereka begitu mengerti bahwa
yang mengantarkan mereka kepada kesuksesan ialah kesabaran yang
murni. Betapa tidak? Dulu sewaktu aku di pesantren yang lama, kami
para santri hidup dengan gaya apa adanya, belajar mensyukuri
kekurangan yang kami miliki. Kami tidak tidur dikasur, karena memang
pondok tidak menyediakan, dan kami sabar untuk itu. Dan kini
kesabaranku selama tiga tahun tidur tanpa kasur seakan berbuah manis.
Di pesantren yang baru kami diperbolehkan memakai kasur, sekalipun
kami harus membawa dari rumah atau membeli di toko. Hal itu sedikit
membuatku merasa lega, dan aku mulai menyenangi tempat ini, pesantren
ku yang baru.
Tidak berbeda dengan
pesantren ku yang dulu, pesantren yang baru aku masuki ini pun
tergolong sederhana, sangat sederhana bahkan. Dengan satu bangunan di
sebelah barat yang memiliki tiga ruang dengan masing-masing luas 5x6
yang kami gunakan sebagai asrma. Ya disinilah kami istirahat,
kemudian satu bangunan memanjang disebelah timur yang digunakan untuk
kelas dan asrama, kemudian satu masjid tanpa kubah berbentuk persegi
di tengah-tengah kedua bangunan tersebut. Selebihnya hanyalah lahan
kosong yang kami jadikan lapangan untuk bermain bola dan beberapa
bangunan baru yang belum sempat diselesaikan dengan atap berupa
langit tanpa genting diatasnya. Permasalahannya sederhana, dana.
Sedang disamping asrama kami, sedikit jauh kebelakang terlihat
beberapa petak bangunan dengan dinding bata merah yang tidak di
plester, itulah perumahan asatidz.
Di perumahan para ustadz
itulah paman ku tinggal dan menetap. Disitu pulalah tempat
penampunganku sementara, karena aku belum memiliki kasur dan bermacam
keperluan harian lainnya, maka sementara ini aku menumpang untuk
segala keperluan pribadi, mulai dari mandi, mencuci, makan, hingga
menyikat gigi.
Pamanku tidak banyak
berubah kecuali jenggot di dagunya yang semakin bertambah banyak
hingga tumbuh dikedua pipi. Ia tidak sekejam keptusannya yang
memberhentikanku dari pesantren secara sepihak. Ia masih seperti
dulu, murah senyum, lapang hati, suka menerima tamu, dan sangat
dermawan. Begitu mudahnya ia memberikan apa yang ia miliki, baginya
perintah bersedekah adalah prinsip hidup, karena segala yang ia punya
hanyalah titipan yang orang lain berhak untuk merasakannya sebagian.
Maka beliau sangatlah dermawan, siapapun yang meminta dan
membutuhkan, selama hal tersebut bukanlah kebutuhan darurat, tentu
akan ia berikan. Tentu aku tidak akan melupakan segala derma dan jasa
yang telah ia berikan. Bahkan salahsatu kasur di kamar beliau harus
rela berpindah tempat karena ia sedekahkan kepada ku, hingga ranjang
tersebut hanya terdapat satu kasur dan sebelahnya dibiarkan kosong.
Karena keputusan untuk memindahkanku ke pesantren beliau pula,
seluruh permasalahan konsumsi selama di pesantren, beliau lah yang
menanggung, sehingga setiap hari saya datang ke rumah beliau tiga
kali sehari untuk mengisi kebutuhan jasmani. Jika tak ada bentuk
materi yang dapat ia sedekahkan, apapun akan ia usahakan, mulai dari
meminjamkan motor kepada kami para santri, hingga kegiatan gotong
royong mingguan yang tak pernah ia tinggalkan kecuali jika ada
keperluan.
Aku mulai kenal beberapa
orang di asrama. Mas Lathif, Mas Abu Hanif, Mas Abu Ibrahim, Abu
Hanifah dan Abu-Abu lainnya. Rat-rata mereka lebih tua beberapa tahun
diatas ku, sehingga kebiasaan diantara kami ialah memanggil dengan
tambahan Mas, Kang atau Kangmas didepan nama mereka. Aku mulai akrab
dengan beberapa orang diantara mereka, terlebih setelah aku
memperkenalkan diri dengan nama Achmad Vario, pikir mereka tentu nama
yang aneh, bahkan aku pu berpikiran sama, nama yang aneh. Tetapi yang
membuatku lebih aneh ialah nama mereka yang hampir sama, sama-sama
diawali Abu yang berarti bapak. Dan jika diartikan akan menjadi
Bapaknya Hanif, bapaknya Ibrahim, bapaknya Hanifah. Saya hampir
tersenyum tatkala membayangkan bahwa mereka telah mempunyai anak,
bahkan Abu Hanifah orang termuda diantara Abu-Abu tersebut masih
lebih muda beberapa tahun dibawah ku.
Kun_yah, itulah kata
tepat untuk mewakili penamaan dengan nama Abu. Dengan memisah antara
ejaan huruf N dan Y sehingga tidak dibaca KUNYAH pada kata mengunyah.
Kun_yah merupakan sebuah sunnah dalam islam yang perlu di lerstaikan,
itu penjelasan singkat yang dipaparkan Mas Abu Hanif. Beliau sudah
sangat lama menetap dan belajar di pesantren ini “Hampir 7 tahun
Fan” paparnya. Karena saking lamanya tersebut banyak orang tidak
tahu bawa nama asli Mas Abu Hanif adalah Edi Susanto, yang kemudian
beliau ganti dengan nama Abu Hanif sebagai nama hijrah.
Diantara Abu-Abu
tersebut ada satu Abu yang asli, yaitu Abu Hanifah. Sedikit mirip
dengan nama Mas Abu Hanif, hanya jika dalam tulisan arab ada tambahan
huruf Ta' Marbuthah setelah huruf Ha' atau F. Kawan kita ini
mengingatkan kita pada salah satu imam mazhab fiqhf yang terkenal,
yaitu Imam Abu Hanifah, seorang tokoh madzhab yang pendapatnya
diperhitungkan diseluruh dunia. Begitupun Abu Hanifah kita, saya
tidak memeanggilnya dengan tambahan Mas atau Kang di depan nama
beliau ini, karena dia lebih muda beberapa tahun daripada saya, tentu
dalam hitungan umur, bukan dalam kwalitas ilmu. Karena dari segi
ilmu, tentu ia lebih mengerti daripada saya, bukan sekedar karena
kecerdasannya tapi juga karena ia telah lebih dahulu menuntut ilmu di
pesantren ini. Jika ia selisih umur dua tahun dibawah saya, maka
dalam hal senioritas dia dlebih tua dua tahun diatas saya, dan
tentunya dari segi keilmuan ia memang sesuai menyandang nama Abu
Hanifah.
Komentar
Posting Komentar