FITNAH
Fitnah*
Oleh: Ust. Wahyu Hidayat S.Ag
Oleh: Ust. Wahyu Hidayat S.Ag
Alhamdulillah
was shalaatu was salaam ala
rasulillah waba’du.
Dan
sungguh kehidupan di dunia ini penuh dengan bermacam ujian dan cobaan, baik
pada harta, keluarga, bahkan pada keyakinan kita. Dan hal
itu tidaklah kecuali
sebagai bentuk cara Allah dalam menilai keimanan kita, Allah berfirman:
{أحسب الناس أن يتركوا أن يقولوا آمنا وهم لا يفتنون؟}
Apakah dengan ujian atau fitnah tersebut
seorang hamba mampu bersabar atau bahkan sebaliknya tergelepar? Tidak kuat menghadapi
ujian dari Allah untuk menguji keimanan dan kecintaan kepada kita. Dan
bagaimana orang-orang terdahulu yang hidup dengan bermacam ujian untuk supaya
tampak mana yang jujur diantara mereka dalam iman dan cinta dan mana yang
berpura-pura, naïf, dan penuh dusta.
Dalam ayat yang lain, bagaimana Allah
benar-benar menguji kita dengan sebuah pertanyaan yang menohok ulu kalbu kita.
و جعلنا بعضكم لبعض فتنة أتصبرون؟
“Dan Kami jadikan
sebagian kalian fitnah (ujian) diatas
sebagian yang lain, lantas apakah kalian mampu bersabar?”
Kemudian beliau sebutkan beberapa contoh:
-
Karena sungguh Allah telah menguji orang
kaya dengan orang miskin, begitupun sebaliknya Allah uji orang miskin dengan
orang kaya.
Mari kita perhatikan, bagaimana Allah
menguji orang-orang kaya dan banyak harta untuk tetap tawadhu’ rendah diri,
zuhud, tidak sombong, (dan rajin menabung-ed). Juga untuk mengalahkan ego dan
hawa nafsu dan kemudian menginfakan sebagian dari harta yang ia punya. Ini
adalah ujian, karena harta yang ia cari setiap hari, ia usahakan pada setiap
kesempatan, harus ia bagi kepada orang yang bukan dari kandung sendiri
(sekalipun boleh.)
Bayangkan andai di dunia ini tidak ada
seorang pun yang miskin namun semua kaya. Saat itu alangkah butuhnya orang kaya
terhadap orang miskin. Ia akan bingung mencari pekerja bukan mencari kerja, ia
akan bingung mencari orang yang berhak mendapat zakat dan sedekah.
Begitu pun Allah uji orang miskin dengan
orang kaya. Kita dapati sebagian saudara kita yang mengeluh bagaimana
tetangganya memiliki harta berlimpah, rumah yang megah, mobil yang mewah namun
ia tidak beriman kepada Allah alias kafir. Bagaimana kemiskinan dan kefakiran
begitu erat dan dekat kepada kekafiran, ia mengeluh atas usaha yang ia coba,
atas doa yang ia pinta. Bagaimana saya telah begitu keras bekerja membanting
tenaga, bagaimana kata dan airmata saya tumpah saat berdoa, tapi mana? Mana?
(ayah mana?-ed.) Sedang tetangga sebelah yang sujud pun tak pernah tapi harta
berlimpah, doa pun jarang tapi tak terlilit hutang.
Disinilah Allah uji orang kaya atas orang
miskin dan juga sabaliknya, lantas apakah mereka bersabar? Atashbiruun?
-
Dan juga Allah uji seorang alim atas
orang jahil dan orang jahil atas orang
alim.
Apakah si alim tersebut bersabar untuk
tetap mengajari, menashihati atau ia menyerah dan pergi? Karena sebagian alim
yang begitu tergesa dalam mendidik dan mengajari, menyerah di awal-awal
langkah, dan kemudian berpaling pergi.
Pun begitu, jika ada suatu perkampungan dan
desa yang sangat membutuhkan pengajar dan dai hanya sekedar untuk mengajar di TPA, agar supaya anak-anak di desa
tersebut tidak banyak keluyuran dan ngabuburit yang tidak jelas, tapi adakah
yang siap dan sedia?
Disinilah orang alim diuji untuk memulai,
menjalani, mendidik dan mengajari, mampukah ia bersabar atau hanya bagai onggok
yang terlempar?
Lalu bagaimana Allah menguji orang bodoh
atas orang alim?
Kebodohan adalah penyakit parah dan kronis,
teman kebodohan adalah kemalasan, karena tidak ada orang yang pintar kecuali ia
rajin pun sebaliknya. Sedang orang bodoh
akan diuji apakah ia mau menerima apa yang disampaikan atau berpaling dan
meninggalkan? Tidak cukup hanya menerima tapi juga dituntut untuk mengamalkan.
Orang bodoh akan menjadi pintar jika ia mau
mendengarkan apa yang disampaikan orang yang pintar. Bukan kemudian berpaling
karena apa yang disampaikan selalu perih dan menyakitkan, pahit bahkan. Obat
memanglah pahit, yang jika tidak diminum akan tetap sakit.
Hal ini terjadi, bagaimana ia enggan
kembali datang di majlis taklim dan kajian karena tema dan maudhuya selalu
menyindir dan mengkritik dirinya , alih-alih mengamalkan, mendengar pun enggan.
Maka apakah ia bersabar? Bersabar untuk tetap datang dan duduk manis di majlis?
Atau berpaling sambil misuh-misuh dan berucap sesuatu yang najis.
-
Contoh yang terakhir. Bagaimana Allah uji
seorang pemimpin terhadap rakyatnya, begitu pun rakyat terhadap pemimpinnya.
Seorang pemimpin yang notabene adalah tolak
ukur dari rakyat dan kepemimpinannya untuk hendaknya senantiasa menjaga
batasan-batasan yang Allah tetapkan atasnya, menjaga amanah yang diembannya,
menunaikan bermacam kewajiban dia sebagai pemimpin dan penguasa.
Sedang rakyat, ujian rakyat atas pemimpin
sangatlah berat. Untuk tetap setia dan taat, baik dikala suka maupun sengsara,
selama bukan pada maksiat terhadap Allah
subhanahu wata’ala.
Contoh kecil ketidaktaatan kita pada
pemimpin ialah celaan kita pada upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah.
Jalan yang dulu rusak lantas diperbaiki namun rusak lagi, maka spontan lisan
kita menghina dan mencela, “Baru dua bulan sudah rusak lagi, pasti gara-gara
mobil-mobil mewah itu” (korupsi_.)
Lantas didemo, laki-perempuan bercampur bau, ikhtilat yang ga ketulungan dan hal-hal
lainnya.
Sungguh
ini adalah kemungkaran yang harus diingatkan dan dinasehati, jangan dibiarkan
atau bahkan didanai. Allah telah memberikan sebuah perumpamaan sempurna dalam
menyikapi dilema pemimpin yang dzalim. Dimulai dari keluarga kita sebagai
aplikasi kepemimpinan yang paling sederhana, yaitu tatkala ada diantara kedua
orangtua kita yang enggan untuk memeluk
islam dan tetap berpegang teguh pada kemusyrikan ataupun kekafiran, maka
disinilah tampak bentuk nyata adab dan akhlak seorang rakyat kepada
pemimpinnya. Allah berfirman
و إن جاهداك على أن تشرك بي شيئا فلا
تطعهما و صاحبهما في الدنيا معروفا
Solusi yang jelas dan gamblang, yaitu untuk
senantiasa mentaati terhadap hal-hal yang baik dan ma’ruf namun tetap
mengingkari pada perkara yang menyelisi syariat dan adab islami. Bukan dengan
berdemo, memasang pamlet dan banner dengan bermacam celaan dan hinaan, baik
kepada pemimpin sendiri, terlebih kedua orang tua kandung yang telah mendidik
sejak dini.
Terakhir, Allah selalu mengingatkan
hamba-hambaNya melalui lantunan kalam dan firmanNya, pada setiap baris sabda
nabiNya, untuk supaya kita tetap pada poros dan pondasi islam, mengerjakan
segala perintah dengan semampu yang kita bisa, dan terhadap laranganNya untuk
senantiasa menjauhinya dimanapun , kapanpun dan bagaimanapun.
Orang yang mendengarkan, membaca dan
memahami kemudian mengamalkan semampu yang ia bisa, sungguh Allah akan mudahkan
baginya. Tapi ada sebagian yang tatkala mendengarkan, berpaling dan ingkar. Dan
kita berlindung terhadap sifat seperti ini.
*Disadur dari kajian bulanan beliau di
Masjid Jami’ Batang Hari Ogan dan disusun oleh akh. Achmad Various Al Gavari,
dengan materi FITNAH dari kitab Ighatsatul Lahfan karya Imam Ibn Qoyyim Al
Jauziyyah.
Komentar
Posting Komentar