Sumpah Demi Allah Part I
Membahas tentang
bid`ah memang `g ada matinya,` semua
terlalu kekeuh dengan pendapat masing-masing.
Sekalipun ada yang mencoba mengingatkan,
namun itu terlalu menyakitkan untuk dikatakan sebuah peringatan. Padahal
dalilnya gamblang, jelas dan tidak ngambang. Alih-alih meninggalkan, eh malah
mencari bermacam alasan, dan kemudian melegalkan, membungkusnya dengan sebuah
tradisi, atau menganggapnya sebuah warisan.
Maka “sakitnya tuh
disini” dan memang disini, karena segala macam bid`ahnya dilucuti. Dari
pitonan, maulidan, selametan, kendurian, hingga hitungan ratusan. Ini baru dari
sisi “personaliti” belum dari mu`amalah, ibadah, higga i`tiqodiyyah.
Supaya tidak terlau
sakit dan menyakitkan, mari kita kuak bid`ah dari devinisi, hingga aplikasinya
nanti. Secara umum Bid`ah dibenturkan dengan sunnah, dan sunnah disini pun
bukan yang jika “diamalkan dapet pahala, ditinggalkan g dapet apa-apa,” tentu sunnah
yang dimaksud ialah sebuah penetapan dari nabi baik qauli, fi`li, atau
taqrir sukuti. Dari pengertian sunnah saja kita sudah dapat penjelasan bahwa
yang bukan selain dari itu disebut bid`ah. Walaupun dalam bid`ah bentuk
pengamalannya terdapat bermacam sunnah, bukan kemudian kita menetapkan itu
sebagai ibadah sunnah yang selayaknya diapresiasi dan diamalkan.
Kita lihat
pengertian bid`ah. Juga bukan yang sekedar Dholalah, atau yang tidak ada pada
zaman nabi, bid`ah tidak sesederhana itu. Tapi sebuah methode dan tatacara baru
yang mirip dan serupa dengan syari`at dan dengan itu dimaksudkan sebagai ibadah untuk
bertaqarrub kepada Allah. Kalau pengertian seperti ini masih tidak bisa
diterima, monggo carikan pengertian yang lebih sempurna supaya suatu “tradisi”
tetap lestari dan terjaga.
Yang pertama: Yasinan,
slametan, dan bermacam bentuk yang telah disebutkan, bukanlah sekedar adat yang
berisi sunnah dan bernialai ibadah. Bukan juga dianggap sebagai syariat yang
dikemas dalam bentuk tradisi tahlilan atau lainnya. Jika tahlilan itu sekedar
tradisi seharusnya pokok tahlilan itu tidak ada unsur ibadah, karena ibadah ya
ibadah, tradisi ya tradisi. Ibadah ada yang sekedar bernilai tradisi, tradisi
ada yang bernilai ibadah tinggi. Sedang
tahlilan, jika berisi tahlil itu jelas ibadah yang masyru`, bukan sekedar
tradisi. Bid`ahnya bukan disisi tahlil atau tahlilan, bisa jadi kaifiyyah,
metodhenya yang salah, seperti mengkhususkan waktu dan tempat tertentu untuk
bertahlil, yang jika tidak diamalkan seakan kurang afdhol dan kurang lengkap,
sedang tidak ada pengkhususannya dari nabi, seperti tahlil untuk orang mati,
membaca yasin malam jumat, dll. Maka takhsis,
pengkhususan inilah yang bid`ah, sekalipun isinya ibadah semua, sunnah semua,
namun kaifiyyahnya itu yang salah.
Ini disebut bid`ah
idhofi, unsur pokok dari bid`ah itu ada pada zaman nabi, tapi bentuk praktek
dan kaifiyyanya yang baru dan menyelisihi.
Biar lebih jelas
kenapa tahlilan dikatakan bid`ah, padahal isinya semua sunnah. Tahlilan, isinya
tahlil, silaturahim, sedekah, ini semua ada pada zaman nabi, tapi ada unsur
takhsis yang jika ditinggalkan kurang afdhol bahkan dianggap haram dan harus
diamalkan. Hal ini terjadi dimasyrakat, yang tidak tahlilan dicibir dan
dikucilkan, bahkan mengancam jika mati bakal ga dikuburkan. Sengeri inikah
hukuman dari meninggalkan tradisi, kita bukan lagi hidup di zaman jahili yang
jika meninggalkan sebuah tradisi dikucilkan hingga mati. Namun kita hidup sudah
cukup dengan syari`at yang mengatur segala macam aturan yang bermaslahat untuk
umat.
Tahlilan yang
semuanya berisi sunnah nabi, bahkan ibadah bernilai tinggi, maka bukan disebut
tradisi, tapi ibadah, maka ibadah jangan dijadikan tradisi. Bid`ahnya dimana?
Bukan ditahlilnya, atau sedekahnya karena itu semua masyru` tanpa harus dikerjakan
saat tahlilan. Tapi anggapan kita yang meyakini jika tahlilan ditinggalkan akan
berbuah dosa, maka bedakan tahlil dengan tahlilan, sedekah dengan slametan.
Orang boleh baca tahlil, tapi bukan dangan cara tahlilan, orang disunahkan
bersedekan, tapi bukan dangan cara slametan. Inikan sekedar tradisi, andai
tradisi seperti ini baik, tentu nabi sudah menjadikannya sebagai tradisi
dizaman beliau. Tapi nabi pun lebih memilih tidak menjadikan tahlilan dan
slametan sebagai tradisi, sedang pada zaman beliau tidak ada suatu penghalang
untuk melakukan hal itu.
Namun anehnya umat
islam di negri kita, suatu yang di zaman nabi tidak ada penghalang dan mawani`
untuk mengamalkannya, atau menjadikannya sebuah tradisi, kini di negri ini
dijadikan sebagai tradisi yang berisi ibadah. Apa tidak terfikirkan oleh nabi
dan baru terfikirkan oleh ulama negri ini? Bukan tidak terfikirkan, tapi memang
tidak disyariatkan dan tidak diwahyukan oleh Allah kepada beliau, tapi entah
oleh siapa hal tersebut diwangsitkan kepada ulama dan dai di negri kita,
padahal sudah jelas sabda beliau “man ahdatsa fii amrina hadza maa laisa
fiihi/minhu fahua raddun.” -Barang siapa yang membuat perkara baru dalam urusan
kami maka perkara tersebut tertolak- dan itu disebut sebagai muhdatsat (hal
baru dalam agama) sedang penjelasan Beliau terhadap hal muhdats “Fakullu
muhdatsatin bid`ah wa kullu bid`atin dholalah” -Setiap perkara yang baru itu
bid`ah dan yang bid`ah itu sesat- Belum cukup sampai disitu, tapi diteruskan
oleh beliau dalam riwayat yang lain “wakullu dholalatin finnar” -Segala yang sesat itu dineraka.-
Finnaly=
1. Hukum tradisi sudah jelas, muhakkamah, dalam
catatan ‘selama tidak menyelisis syariat.`
2. 2. Hukum ibadah juga jelas, berpahala, dengan catatan
`metode dan kaifiyyahnya tidak mengada-ngada.`
Yang jadi soal,
tahlilan itu ibadah atau adah (tradisi)?
Jika tradisi, kok
lebih banyak unsur ibadahnya daripada unsur tradisinya?
Jika ibadah? Maka
ibadahnya nyontoh siapa? Jika tradisi, kok sebegitunya `efek` dari tidak
mengerjakannya? Jelas sekarang, berarti tahlilan itu tradisi yang tidak sesuai
sunnah nabi.
Memang ada `syariat
yang dibungkus adat,` seperti Biruul walidain, bakti kepada ortu, itu syariat,
methodenya sesuai adat setempat, seperti di Jawa `nginjek-nginjek` orang tua
kita itu bakti, di Amerika bisa berarti lain. Ini Syariat yang dibungkus adat.
Beda dengan Tahlilan yang bentuknya mirip syariat yang diniatkan ibadat. Saya
ingatkan kembali dengan bid`ah idhofi disini, unsur pokonya ada, tapi methode
yang diyakini menyelisihi sunnah nabi. Karena membaca tahlil, tidak harus
dengan tahlilan, bersedekah tidak harus dengan slametan. Jika tahlilan yang
dijadikan sebagai tradisi ini dimaksudkan agar supaya orang lebih banyak
mengucapkan tahlil dan gemar sedekah, maka lebih bahaya lagi, karena meyakini
seakan cara nabi `kurang` ampuh untuk supaya orang-orang melakukan hal
tersebut.
Komentar
Posting Komentar