Sumpah Demi Allah III
Tradisi ke III
Pitonan.
Dalam sebuah
riwayat bahwa Nabi pernah bersabda “ Wa kaana yu`jibuni attafaaul” –Dan
mengagumkanku sikap tafaul, optimis-
Saya uraikan
kembali dengan nomor supaya terfokus dan tidak mocar-macir.
Kedua orang
tersebut sama-sama mulia dan agung disisi Allah, yang karena kemuliaannya
Maryam, Allah jadikan namanya sebagai nama surat di dalam Alquran, dan hal ini
tidak diberikan kepada wanita selainnya dari para wanita, baik itu Asiah,
Khadijah, atau putri baginda yang mulia Fathimah.
Jika yang
dimaksudkan dengan dibacakannya kedua surat tersebut dalam bentuk tafaul,
kenapa tidak dibacakan surat yang menyebutkan orang yang lebih mulia dari kedua
orang tersebut, Kenapa tidak dibacakan surat Muhammad? Yang kemulian beliau
melebihi kemuliaan apapun dan siapapun dimuka bumi ini dari makhluk Allah?
2. Jika dimaksudkan
ialah tafaaul, lantas kenapa Hasan ataupun Husain, anak dari Fathmah, cucu dari
Sang Nabi, tidak dibacakan kedua surat tersebut, atau bahkan surat Muhammad
sebagai bentuk tafaul? Begitupun tidak juga para Sahabat lainnya.
Sekarang, siapakah
orang yang lebih besar kekagumannaya kepada si `tafaul` ini dari pada nabi yang
mulia? Bahkan orang yang begitu senangnya dengan sifat tafaaul itu sendiri,
tidak pernah melakukan Pitonan kepada anak-cucunya, dan membacakan kedua surat
tersebut. Tentu beliau lebih berhak untuk melakukannya dari pada kita. Apa
beliau tidak tahu fungsi kedua surat ini? Berarti kita yang lebih tahu daripada
beliau.!?
2. 3. Hal tersebut juga dimaksudkan supaya si bayi mulai
mendengarkan Alquran sejak dini.
Sebenarnya saya
malu untuk membaca paragraf tersebut. Jika diniatkan untuk hal tersebut,
alangkah baiknya jika alquran mulai dibacakan sejak awal minggu kehamilan,
sehingga dalam bentuknya yang paling imut si bayi sudah mulai dididik dengan
diperdegarkan alquran. Tidak harus nunggu mitoni kan? Atau mungkin orang tuanya
ga bisa ngaji sehingga harus ngundang orang membacakan alquran, itupun saat
mitoni saja, sehingga usai mitoni seakan lepas dari beban untuk membacakan
alquran.
Masaail:
A - Zaman nabi tidak ada pesantren maupun
unversitas, yang ada sistem halaqoh, maka itu bid`ah, jika tidak bid`ah berarti
teorinya sama dengan yasinan tadi, isinya sunnah hanya caranya saja yang beda.
Pesantren dan Universitas tidaklah dianggap
sebagai bid`ah. Lha itukan sama dengan yasinan tadi? Berbeda, dari sisi mana
perbedaanya?
1. 1. Tidak adanya pesantren pada zaman nabi karena
adanya penghalang untuk menerapkan sistem pesantren. Dikarenakan jumlah kaum
muslimin kala itu tidak sebegitu mbludak dan banyak seperti saat ini, yang
begitu banyak orang yang butuh ilmu sedang yang punya ilmu tidak sebanding
dengan yang membutuhkan. Maka orang yang jauh datang mendekat, dan g
memungkinkan untuk pulang-pergi, maka dibentuklah pesantren, yang juga sebagai
sumber ilmu dan penginapan.
2. 2. Sistemnya disesuaikan dengan maslahat yang
dibutuhkan, jika halaqah lebih bermashlahat, lebih utama diamalkan, sebagaimana
dengan yang ada di pedalaman-pedalaman Afrika. Namun jika sebaliknya, dengan sistem
kelas yang lebih terfokus saja, sedikit sekali orang yang “jadi.”
3. 3. Dan ini pun perkara duniawi, tidak ada
penetapannya dari Nabi, tapi ‘Antum a`lamu bi umuuri dunyakum.` Bahkan jika ada
yang lebih baik dari pesantren, kenapa tidak? Apakah pesantren itu menyelisihi
sunnah nabi? Sedang yasinan? Sekalipun
isinya sunnah semua, tapi i`toqodnya, takhsisnya, itu yang bid`i.
B - Solusi bagi
umat saat ini ialah menumbuhkan ukhuwah islamiyah dan toleransi dalam
khilafiyah.
Saya
setuju dengan konsep menumbuhkan sikap ukhuwah islamiyyah, tapi perlu diperinci
apakah itu dalam hal ukhuwah yang mengajak bersatu dalam sebuah i`tiqod batil
dan kelompok-kelompok hizbi, atau ukhuwah dalam da`wah ilallah, untuk Allah dan
karena Allah, yang benar-benar ukhuwah dalam islam, dan bukan kepada bermacam
hizbi yang ada dalam tubuh islam?
Toleransi
ini seperti apa bentuknya? Toleransi itu ada batasnya. Dalam hal khilafiyyah
fiqhiyyah, disini memang tempatnya, bahkan fiqh kurang terkesan tanpa adanya
khilafiyah. Tapi jika menempatkan toleransi terhadap kesalahan-kesalahan fatal
seperti dalam i`tiqod, keyakinan, yang seharusnya dinashihati, diingatkan,
diperingatkan namun malah ditoleransi? Lalu dimana letak amar ma`ruf nahi
mungkar?
Jika
dibiarkan tanpa nashihat dan pengingkaran dan malah ditoleransi? Lantas apa
tugas para dai? Apa bakal nanti masa depan umat ini? Sejarah sudah terbukti,
bahwa akibat sikap toleransi yang kelewat batas seperti itulah bangsa Yahudi
terpecah belah dengan bentuk kehancurannya masing-masing.
Saya
masih teringat dars tafsir kelas satu di ma`had Alhuda bahwa Bani Israil itu
dilaknat karena toleransi mereka yang kebablasan. Faqoola ‘’Lu`inalladzina
kafaruu min Bani Israila `ala lisaani Daawuda wa `Isa ibn Maryam, kanuu laa
yatanaahauna `an munkarin fa`aluuh...”
Untuk
`ummatan waahida` hendaknya merujuk kembali kepada kitab-kitab tafsir. Bahwa
kalimat tersebut bukan lah ditunjukan kepada umat ini, maksud dari `ummatan
wahhidan` ialah, jika seluruh ummat sejak zaman nabi terdahulu hingga umat
Muhammad digabungkan menjadi satu. Penjelasan ayat jangan dipotong
setengah-setengah, tapi Allah tidak jadikan para umat tersebut menjadi satu
supaya terlihat mana yang lebih baik amalnya diantara mereka.
Sedang
tauhiidul ummah merupakan hal yang dianjurkan, ayat yang banyak menjelaskan hal
itu, `waitashimuu bihablillahi jami`an wala tafarraqu..` Diriwayatkan dari
Nabi, pada suatu ketika beliau menggaris sebuah garis yang lurus, dan kemudian
mengaris dikanan dan kirinya garis-garis yang banyak, kemudian mengatakan, ini
jalan yang lurus dan jangan kau ikuti jalan-jalan yang banyak,
Jika
toleransi kemudian dijadikan dalil untuk tidak saling menashihati dan beramar
ma`ruf nahi mungkar, namun dinikmati dan saling dihargai tanpa ada kecemburuan
bahwa ini sebuah kesalahan yang seharusnya dingatkan. Maka disini tidak bisa
dibedakan mana yang salah dan mana yang benar, semua saling menghargai terhadap
kesalahan masing-masing, kemudian saling bersama terhadap hal yang dikiranya
menguntungkan. Seakan nanti hadits nabi tentang 73 golongan dalam islam tidak
bermakna, padahal dari 73 golongan ini hanya satu yang masuk surga, kulluha
finnar illa waahidah, hanya satu yang selamat, sedang yang lain hancur dengan
bermacam paham yang mereka benarkan dan amalkan.
Wallahu
a`lam!
Jumat,
12 Desember 2014
Komentar
Posting Komentar