A Beatifull House Part IV
Rasa syukur ibarat harta yang sangat
berharga, sekalipun keadaan kita melarat seratus persen, dengan syukur kita
akan bahagia, menyadari bahwa
pasti ada dibawah kita orang yang lebih miskin
dan lebih melarat dari kita. Sekalipun rumah kita reot ia akan menjadi beatiful
house dengan prabot mewah kesyukuran, menjadi full house yang penuh dengan
kebahagiaan dan ketentraman, itulah rasa syukur, becak yang berkarat menjadi
kereta andong para raja, bus-bus yang seperti mesin penggiling padi, menjelma
sebagai mobil para bupati.Syukur, aku harus bisa menemukan celah untuk
menyusupkannya kepada para pengunjung warung kopi.
Jika kehidupan pengunjung warung kopi sangat
rekat dengan kemiskinan, secara otomatis sistem adaptasi mereka terhadap
kemiskinanpun akan sangat cepat. Berbeda dengan rasa syukur, orang yang
memiliki harta berlebih saja jarang dan sangat sedikit yang bersyukur, maka
mensyukuri kemiskinan ibarat menelan paracetamol 500g tanpa air, pahit sekali.
Pelajaran-pelajaran di kelas selalu menuntut
bagi seorang dai untuk selalu mengedepankan tauhid dalam dakwah. Adakah sebuah
keajaiban dari tauhid sehingga sangat diprioritaskan? Dari bermacam problem dan
masalah umat yang ada, mampukah ajaran tauhid menyelesaikannya? Tidak hanya
judi, miras, main wanita, tetapi kemiskinan juga sebuah masalah pelik. Dalam
litelatur sejarah para nabi dan rasul yang tercantum dalam Al Quran, ajaran
tauhid selalu didahulukan dari bermacam problem yang berbeda, dari umat yang
berbeda, dan dari nabi yang berbeda, namun ajaran tauhid selalu dikibarkan
catatan sejarah yang tak pernah kering dalam lembaran Al Quran.
Ujian dalam dakwah bukanlah fiksi, nyata dan sangat asli. Berjalan
diatasnya seakan melangkah diatas duri atau paku besi, semakin melangkah
semakin banyak luka dan darah. Dengan metode pendekatan ajaran tauhid maka segi
lain dari bermacam cabang permasalahan agama akan terurai sedikit demi sedikit,
bagai indukan yang selalu diikuti anaknya, maka ajaran tauhid ibarat akar dari
suatu perkara, kita akan mampu menumbangkan sebuah pohon sebesar apapun jika
bisa meruntuhkan akarnya, ialah pondasi itu adalah tauhid.
Mengingatkan manusia ingkar kepada syukur
bagai menyatukan dua kutub berlawanan, semakin dekat semakin berontak.
Bagaimana akan bersyukur jika tujuan syukur mereka tidak tahu, bahkan kepada
siapa dan karena apa rasa syukur diberikanpun tidak tahu. Sekalipun kita, saya
dan anda, juga pengunjung warung kopi tentunya, dilahirkan dalam keadaan muslim
seratus persen tapi hal itu terkadang hanyalah pernyataan tertulis pada sebuah
kartu pengenal kependudukan, batas ke-muslim-an kita hanya itu, selebihnya
sebagaimana seratus persen tertulis di ktp, hampir seratus persen pula kita
tidak faham akan islam, dan hampir duakali lipat persenan tadi kita lupa kepada
Allah, dengan lupa yang akut mendekati total, bahkan tak sedikit yang muslim
sejak lahir hanya ingat Tuhan setahun duakali, saat idul adha dan idul fitri.
Titik poros ajaran
tauhid sebagai pangkal untuk melangkah dalam dakwah, tidak kusut terlipat zaman
dan peradapan, melangkahi setiap sendi dari bermacam problem kahidupan,
ketetapan pasti bagi bermacam jenis usia, lansia dan balita. Ikrar akan tauhid
mengalir pada langkah para bujang desa yang merantau ke kota, dengan pasrah
mereka berhenti dan tidak lagi, bernyanyi, bermain remi, atau berkencan dengan wanita, menyadarkan orang
tua yang letih mengayuh becak, dengan pasrah mereka berhenti dan tidak lagi,
bernyanyi, bermain remi, atau menggoda penjaga warung kopi, membelokan
supir-supir bus dan truk pada kesadaran yang mulai tumbuh dalam hati mereka,
mereka pasrah mereka berhenti dan tidak lagi, bernyanyi, bermain remi atau
menggoda para penumpang. Ajaran tauhid haruslah selalu diajarkan dan ditanamkan,
sekalipun banyak orang membicarakan bermacam teori dalam dakwah, tauhid tetap
prioritas, sekalipun bermacam seminar tentang "permasalahan ustadz dan
umat dalam syariat," tauhid tetap prioritas, sekalipun para dosen dan para
pakar berceloteh tentang "solusi cermat dalam permasalahan ummat,"
tauhid tetap prioritas, bisa dikata aku adalah orang terfanatik terhadap
tauhid.
Ia ibarat pintu
bagi sebuah rumah, hati bagi sebongkah tubuh, ingsang bagi seekor ikan, sayap
bagi seekor burung, mesin bagi sebuah motor, batrei bagi sebuah senter, yang
tanpa itu semua hanyalah hampa, hanyalah tubuh kosong berbentuk manusia, hanyalah sebuah kerangka kosong
tanpa nyawa. Ia adalah solusi bagi bermacam masalah, tetapi sebagaiman bermacam
ujian di dunia ini, tidaklah mudah mengenalkan ummat kepada tauhid, sehingga
solusi itu sendiri tersendat dan terkesan berjalan ditempat, maka gaya
menyempaikan dan mengutarakan haruslah didesain sedemikian rupa sesuai karakter
pribadi setiap para ustadz, dengan gaya tersendiri, dan cara tersendiri, selama
mencakup tiga macam unsur metode dakwah, hikmah, mau'idzho, dan diskusi atau
debat ringan. Sebagaimana kemiskinan yang mberdarah-darah, tertancap sangat
dalam di sanubari, maka ajaran tauhid lebih dari itu, ia harus senantiasa dihidupkan
dan dilestarikan, dari diri sendiri, dari yang terkecil dan dari sekarang,
dimanapun, kapanpun, dan pada siapapun. Sekiranya tulisan ini cocok jika diberi
judul "Tauhid, solusi ummat sepanjang hayat" atau "Tauhid metode
dakwah tanpa terbatas peradaban dan kecerdasan."
Aku tidak boleh
berhenti, sekalipun kakiku akan luka dan berdarah, aku tetap harus maju.
Kisah-kisah para nabi dan kaum terdahulu menguatkanku dalam langkah, aku malu
terhadap mereka yang merasakan siksaan yang nyata, sangat nyata, karena nyata
sekali mereka dipukul, dibunuh dan tak jarang mati dijilatan parit api yang
sengaja digali. Sedang aku hanyalah pengunjung warung kopi, berdakwah sambil
minum kopi, namun sudah merasa menyerah tanpa pernah melangkah.
Aku harus maju.
metode dan isi tetap sama, dakwah bil hal dan mengedepankan ajaran tauhid,
dengan hikmah, dengan mau'idzoh dan penjelasan akurat. Biarlah yang datang
hanya satu dua, hanya orang itu-itu saja, karena itu lebih baik daripada aku
lari dan pergi. Aku coba menerapkan perkataan para kaum bijak "mulai dari
diri sendiri, dari yang terkecil dan dari sekarang" Ya! dakwah bukan untuk sesiapa, tapi untuk
kita, untuk diri kita, sekalipun mereka menghindar, sekalipun ibu warung kopi
kini membenciku karena menghilangkan pelanggannya, sekalipun malam jumat kian
sepi, dan sekalipun-sekalipun lainnya, aku tidak pernah menyesal, inilah
hatiku! Aku akan menjaganya, inilah rumahku! Aku akan merawatnya, dari diri
sendiri, dari yang terkecil, dan dari sekarang, aku tidak boleh mundur, satu
langkahpun tidak boleh, dan biarlah mereka para pengunjung warung kopi dan juga
anda mengenalku sebagai "orang yang bangga dengan jalannya,"
sekalipun aku tidak mampu mendakwahi oang lain tapi aku bangga dengan diriku
sendiri.
Keberhasilan dakwa bukan hanya dilihat dari
jumlah pengikut, sekalipun aku gagal, tetapi keberhasilan sesungguhnya ialah
seberapa dalam kau mengerti dan memahami apa yang kau dakwahkan.
"Telah
diperlihatkan kepadaku suatu kaum dan aku melihat seoranga nabi yang besamanya
suatu kelompok manusia dan seorang nabi yang bersamanya seseorang atau dua
orang saja dan seorang nabi yang tidak bersamanya seorang nabipun......"
10 Rajab 1436 H.
Komentar
Posting Komentar