A Beatifull House Part III

Begitu pula kita yang mayoritas ini menjadi bagian dari kaum mayoritas yang lupa akan bersyukur. Rumah yang indah bukan hanya dilihat dari bermacam prabot dan peralatan yang lengkap, atau dari lantai berubin, jendel
a kaca, dan cat berwarna. Sekalipun reot namun memberikan kita kenyamanan yang berbeda, tetaplah itu rumah kita, itulah kebahagiaan kita, tidak perlu mencari, karena ia ada disini, dekat, dekat sekali, yaitu rasa syukur. Hati yang bersih akan selalu mensyukuri setiap pemberian dari kerja keras yang melelahkan, tidak menolak namun juga tidak tamak.
 Akupun berfikir untuk tidak lagi mengunjungi warung kopi karena ketidak kuasaanku itu. Biarlah ibu penjaga warung kehilangan satu pelanggan mingguannya, karenajika aku terus berada disana dan tak kuasa mengingkarinya, maka aku sama saja dengan mereka. Tapi proses dakwah harus terus dijalani, kubiarkan diriku untuk tetep mengunjungi warung kopi itu, ku coba mengenali mereka lebih dalam, dan rupanya mereka adalah orang yang asyik, sangat menghormati satu sama lain. Disaat mereka mengetahui bahwa diriku adalah mahasiswa perguruan agama, seperti salah tingkah, disaat mereka dulu sering bernyanyi, maka kini jika aku datang, mereka mengecilkan deting gitarnya, menyingkirkan rokok dan minumannya dan terkadang bertanya sedikit masalah lahiriah yang ada padaku, ''kenapa celananya cingkrang? jenggotnya panjang? dan tidak merokok?"
 Aku merasa seperti telah melangkah dalam medan dakwah. Sebelum memulai dengan hikmah dan mau'idzoh langkah pertama adalah dakwah bil hal, dengan sikap kita, prilaku kita, dan perbuatan kita. Andaikata dahulu kuingkari perbuatan mereka, tentu kini aku telah terusir dari majlis warung kopi, maka sesuai pelajaran di kelas yang selalu mengajarkan dakwah dengan hikmah, lemah lembut, mau'idzoh, dan sedikit teguran keras, kini aku mencoba setahap demi setahap, dari yang terendah yaitu dakwah bil hal.
Kini aku selalu senang untuk datang ke warung kopi, menanti malam jumat segera tiba dan karena aku tidak pernah berutang, maka ibu penjaga warung selalu senang kukunjungi. Kini mereka telah terbiasa dengan kedatanganku, bahkan hafal, pukul setengah sembilan, malam jumat. Namun semakin banyak jumat kulalui pengunjung kopi semakin sepi, satu dua orang dan hanya itu tidak ada lainnya, tidak ada lagi pemusik, kartu remi atau gerombolan penyanyi, berbeda dengan malam lain jika aku sedang melewati jalan itu, seperti biasa, rame dengan pemusik, remi dan para pemuda yang bernyanyi. Aku mulai faham bahwa mereka menghindar dariku, menghindar dari malam jumat.
  Aturan-aturan dakwah selalu terikat dari satu sisi. Pelajaran di kampus mengajarkan bahwa hal pertama yang harus disampaikan dalam dakwah ialah mengetahui hak-hak Tuhan, mentauhidkan dan tidak menyekutukan. Maka dakwah dinilai dari tiga hal, apa yang disampaikan? bagaimana cara menyampaikan? dan dengan apa kita menyampaikan? Para ustadz di kelas selalu mematok ajaran Tauhid sebagai bekal utama yang harus disampaikan, karena inilah hikayat para nabi dan sejarahnya yang terbukukan dalam Al Quran, dengan metode dan cara menyampaikan yang tidak boleh keluar dari hikmah, mau'idzoh, dan terkadang sedikit diskusi ringan. Disampaikan dengan cara yang sesuai keadaan, dengan wasilah apapun, selama tidak menghalalkan yang haram, dan mengharamkan yang halal.
  Aku mencoba memahami keadaan para pengunjung warung kopi, bagaimana kesehariannya, apa kebiasaannya, dan apa yang dipermasalahkannya. Semua membicarakan kemiskinan, masalah pelik, tidak teratasi kecuali dengan menjadi kaya, dimulai dari titik nol yang bernama kerja keras, bersungguh dan sedikit menabung. Dengan menabung cukup baginya untuk membeli daging ayam mentah setahun sekaki saat idul fitri.

  Aku sedikit memahami apa yang mereka alami, kemiskinan, kerja keras dan hati tanpa syukur. Aku optimis, pasti ada solusi, aku hanyalah mendakhwahi warung kopi, dan bukan ustadz yang mendatangi prostitusi dan tukang judi. Jika aku mundur saat ini, maka bagaimana aku akan maju mendatangi kampung penjudi. Aku harus maju, satu celah kesempatan ialah menyadarkan mereka untuk bersyukur, sebagaimana kemiskinan yang menyengsarakan mereka, dimanapun, kapanpun dan dalam keadaan apapun. Maka mereka juga harus mampu bersyukur, dimanapun, kapanpun, dalam keadaan apapun.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ANTARA NU, WAHHABI dan SYI`I