A Beatifull House Part II
Mereka yang
usianya rata-rata masih remaja, yang seharusnya menikmati bangku pendidikan dan
indahnya bersekolah, dikarenakan satu kocokan dadu ular tangga,
mengakibatkan mereka terlempar dari lingkar pendidikan dan terbuang bersama lembaran sejarah, dilupakan sama sekali.
mengakibatkan mereka terlempar dari lingkar pendidikan dan terbuang bersama lembaran sejarah, dilupakan sama sekali.
Mereka ingin menikmati hari yang indah, hidup
yang bahagia, dan masa tua tidak lagi mengayuh becak menafkahi keluarga seperti
bapak-bapaknya. Namun seperti memasuki sebuah labirin, keluar dari satu kotak
tetapi masuk kedalam kotak yang lebih jauh dan dalam. Sekalipun penghasilan
mereka di kota tetap dan sedikit lumayan, tetapi pengeluaran dan tuntutan hidup
lebih pasti dan lebih tetap dari pada penghasilan mereka, jika di kampung
mereka datang ke warung kopi untuk berkongsi sesama kawan, kini mereka gengsi
dan pindah ke restoran, walaupun jelas terpampang tulisan besar di depan pintu
masuk, WARTEG, jika dahulu mereka selalu mematuhi orang tua sesuai tuntunan
agama, kini mereka lebih memikirkan teman wanita. Dan itu semua memerlukan
uang, memerlukan duit yang selalu membikin penyakit. Maka hasil upah mereka
yang seratus duaratus perak ia kumpulkan akan habis sebelum sampai pertengahan
bulan. Maka jika mereka pulang kampung bukannya membawa untung bagi keluarga
namun membawa sengsara dan kemiskinan dua kali lipat.
Duit, duit, dan duit, semua orang butuh akan
duit, termasuk saya, anda, dan terlebih para pengunjung warung kopi. Seiyanya
ia selalu menjadi masalah bagi siapapun, dimanapun dan kapanpun, dan ia tetap
dibutuhkan, tetap dicari dan tetap diusahakan. Jika ada uang berlebih akan
menambah masalah, tapi jika tidak ada uang maka masalah bertambah-tambah. Jika
kita memiliki duit ia akan menghantui kita dimanapun, hingga tidur tak nyenyak
sebab khawatir jika uang kita dicuri dan dibawa pergi orang, namun jika kita
tidak memiliki duit hantu itu lebih menyeramkan, menjelma dalam berbagai bentuk
mengerikan, tidak hanya menghantui disaat tidur memejamkan mata, namun ia terus
menghantui dan tak membiarkan kita berkedip sekalipun. Ternyata hantu
kemiskinan lebih menyeramkan daripada hantu kekhawatiran.
Sekalipun duit selalu menyakitkan hati yang
mencintainya, tetapi saya mencoba berfikir logis, mencarinya dan
mengumpulkannya, menyisihkan sebagiannya ke celengan kaleng karatan, dan
menggunakannya seirit mungkin. Tapi aku gagal, hidup dengan "hemat pangkal
kaya" sangatlah menyusahkan, belum genap satu minggu, celengan karatan itu
sudah kubongkar, mengungkit-ungkitnya dengan batang lidi atau kawat jeruji,
sehingga menyembulah selembar sepuluh ribuan, kutarik dengan sangat hati-hati
agar tidak sobek dan.. Berhasil, kuungkitkan kembali batang lidi, mencari sisa
harta karun kemiskinan, namun tidak ada, kukocok-kocok kaleng itu, sunyi, tidak
berbunyi, rupanya setiap kali aku sisihkan setiap kali itu pula, belum genap
satu minggu pula, kaleng berkarat itu telah kubongar.
Para pengunjung warung kopi lebih senang
berfikir realistis. Menggambarkan keadaan dengan penampilan dan menjadikannya
sebagai tolak ukur sebuah keadaan.
Hati kita ibarat
rumah bagi kebahagiaan, penuh ketenangan dan kedamaian. Mata ibarat jendela,
mengintip-intip celah kebahagiaan sempurna, mulut ibarat daun pintu, hanya
menerima tamu-tamu tertentu, hidung ibarat ventilasi yang menghirup ketentraman
dan menghembuskan kesengsaraa, tipe 'rumahku surgaku'harapan setiap keluarga
yang sangat memegang kiat-kiat SaMaRa, sakinah mawaddah wa rahmah. Inilah full
house, rumah yang penuh damai dan bahagia, atau beatiful house, rumah indah
penuh bahagia jauh dari sengsara.
Sering aku merasa bersalah jika mengunjungi
warung kopi. Sebagai mahasiswa dari kampus berlandaskan agama, sangat gerah
rasanya melihat prilaku para pengunjung kopi, kemiskinan menjadikan manusia
sungguh dalam keadaan kalut luar biasa hingga melupakan Tuhan, bahkan lupa
total pada detik itu. Tidak jarang mereka berlaku berlebih dalam melanggar
batasan Tuhan, dari tingkat terendah hingga keharaman level atas dilakukannya.
Sesekali kucoba memberanikan diri untuk
mengingkari, namun aku terlalu kecut, lidahku kelu untuk mencoba mengucapkan
kebenaran, aku telah gagal kala itu. Membuatku hanya terenung sambil menikmati
setiap seruput kopi, membiarkan mereka dalam kebebasan melanggar aturan agama,
aku telah mengkhianati agama yang menuntut pengingkaran terhadap kemungkaran
dan mengkhianati kampus tempatku belajar yang menuntut untuk pantang mundur
terhadap segala rintangan dalam dakwah.
Mengikuti pendapat mayoritas terkadang
menuntut sesuatu yang menjadi dilema. Disatu sisi kita butuh dan disisi lain
kita berhadapan dengan larangan agama. Kita beruntung hidup dilingkungan yang
mayoritas, tanpa sadar pendapat kitapun sering mengikuti mayoritas. Kita muslim
karena mayoritas, kita miskin juga mayoritas, dan kita bodoh juga mayoritas.
Komentar
Posting Komentar