A Beatifull House Part I




Beautiful House
                                                 Oleh:Fandi Ahmad



Bismillahwal hamdulillah wassalatu wassalamu ala rasulillah waba'du
  Perjalanan takdir memang tidak bis
a dikira, selalu misterius dan penuh rahasia. Menikmatinya adalah solusi terbaik, karena seperti kebanyakan takdir dan rahasia yang pelik, semakin  dipikirkan semakin rumit, semakin dicerna semakin menggeliat penuh misteri, hanya manusia berjiwa detektif yang sanggup berdiam diri dan memikirkannya matang-matang, kemudian memecahkannya dengan teori yang hampir mustahil, merumuskannya dalam kode-kode spiones tingkat amatir.
  Sedang orang dengan tipe detektif, karena nutrisi otaknya yang berlebih, segala hal adalah dramatisir baginya, mereka sangat senang terhadap perkara biasa kemudian membesar-besarkannya, mereka jarang tertawa namun akan terbahak dikala kesusahan menimpa selainnya. Dan dikala mereka dihadapkan terhadap perkara pelik, mereka akan berdiam diri lama, menghindar dari segala suara-suara brisik dan mengunci diri di kamar, sendiri dan begitu sepi. Kemudian secara tiba-tiba, ia keluar, menyeruak diantara sahabat dan keluarga yang menunggunya khawatir didepan bilik, kemudian tertawa keras seakan lepas dari cengkram kematian, bahkan ia tetap tersenyum walau melihat dinding, menatap langit-langit, bahkan saat shalat. Rupanya wangsit telah menyapanya dipertapaan anehnya itu.
  Namun ada orang dengan tipe lai, mereka tidak pernah ambil pusing terhadap masalah-masalah pelik, menerimanya dengan santun dan lapang dada, dan menjalani setiap rusuk permasalahan yang musykil dengan tanpa selera. Pasrah serta berserah, membiarkan diri diselimuti berbagai beban, seringan apapun dan sepelik apapun. Orang dengan tipe seperti ini bahkan tak ingin membiarkan atau tidak merasakan bahwa ia tertimpa suatu masalah, baginya semua sama saja asalkan ia bernafas dan mampu menyuap makanan, itu sudah cukup. Dan disaat bermacam problem tersebut lepas dengan sendirinya, bukan karena tertangani namun ia bosan berlama-lama di pikiran yang selalu kosong itu, maka orang tersebut tidak akan merasakan apa-apa, baginya dunia hanyalah seperti papan tulis baru, tidak akan pernah ada warna hitam jika kita tidak menorehkan kata disana.
  Dan orang yang normal atau lebih normal dari kedua jenis homosapien tersebut ialah orang dengan tipe 'sedang-sedang'. Mengatasi masalah seukuran kemampuan, dan mempraktekannya dikehidupan, semua itu dilakukannya dengan sedang-sedang, dan senyumnya juga sedang-sedang. Untuk perkara senyum ini diaturnya  dengan begitu teliti, tidak terbahak lepas menampakkan gigi-gigi, juga tidak rapat sehingga terkesan dipaksakan. Segala urusannyapun, sebagaimana senyumnya, tidak begitu buruk dan tidak begitu menakjubkan. Mungkin takdirlah yang mengantarnya untuk seperti itu. Perkataanya begitu rapi, dipilih dari rongga mulut paling dalam, tidak memutus perkataan orang lain, ia akan menunggu dengan sabar orang lain usai bicara, dan luncuran kalimat itu begitu penuh wibawa. Jika ia seorang pemimpin, mampu menggetarkan jiwa rakyatnya, jika ia seorang perjaka, gadis manapun ditaklukannya, dan orang dengan tipe seperti ini sangat cocok jika bekerja sebagai sales produk-produk kecantikan, prabot dapur, dan segala macam asongan. Namun dikarenakan ia tidak pernah melampirkan lamaran kerja ke agen manapun, orang seperti ini akan teronggok begitu saja bersama nasib yang selalu melingkar seperti urat leher, begitu dekat dan tidak bisa dilepaskan. Mengakibatkan hidupnya gamang, oleng kiri dan kanan, dan orang seperti ini begitu banyak dan sangat mudah didapati di reman-remang warung kopi, mereka suntuk, seakan masa depan baginya begitu gelap dan kelam seperti pekat kopi pada gelas didepannya.
  Seperti kebenyakan komponen makhluk hidup, begitu halnya dengan tubuh manusia yangberdiri kokoh diatas tumpuan tulang-tulang kaki berkekuatan puluhan ton, bergerak elastis mengikuti irama sendi-sendi disetiap siku tubuh, berbalut busana indah dari merk terkenal, namun tulisan besar dengan lambang hati dipunggung baju itu, tetap mengesankan bahwa dia adalah "Indonesia Sejati," sekalipun gaya rambutnya kekuningan sehingga terkesan seperti bule kelahiran salon kecantikan pasar Tanjung, tapi hal itu tidak mengurangi kesan dia sebagai pemeluk ideologi NKRI harga mati, karena jelas, jelas sekali dipunggungnya itu tertulis 'Cinta Produk Indonesia.'
Dikarenakan tubuh manusia terdiri seperti susunan puisi, mengandung kesan eksentrik dan insentrik, seperti plot dan tema, begitupun manusia, ruh dan jasad, adalah komposisi inti dari terbentuknya makhluk bumi bernama ini. Sebagaimana puisi dan cerita, akan begitu berkesan bagi orang yang membacanya, hal itu karena ruh-ruh sastra telah ditiup pada bait-bait susunan kata, mewakili karangan indah Khalil Gibran, menyemburkan makna yang aduhai dari sastrawan kolot Jalaluddin Rumi, Mbah kakungnya kaum sufi serta guru telepati seorang bernama Muhammad Iqbal. Maka manusia dengan susunan sempurna hasil karya tangan Tuhan pun akan begitu bermakna bagi orang lain disaat hidupnya mampu memberi kesan bagi lainnya, seperti susunan puisi dan cerita, menyejukkan bagi hati gersang yang selalu haus akan irama kebajikan.                                                                                                        
 Seperti jasad yang juga membutuhkan zat dan vitamin, begitu halnya dengan ruh dan jiwa, kebutuhan keduanya terhadap ion-ion tersebut lebih mendesak daripada kebutuhan jasad terhadap makanan dan air sebagai unsur hidup nomor satu. Jikalau jasad dan tubuh cukup dengan seteguk dan sesuap nasi, dengan kadar tertentu dan waktu yang dibatasi, maka kebutuhan jiwa serta ruh daripada vitamin dan ion berkali lipat dari kebutuhan jasad, namun jika terlambat membiarkan samasekali, sehingga ruh dan jiwa ini kering seperti danau di musim kemarau, akan meninggalkan retak berbentuk kotak, kecil namun merata diseluruh permukaan dan tidak akan kembali becek dan basah seperti semula sehingga penghujan menyapanya dengan sergap bahagia.
Hati dan jiwa manusia tidak seperti danau, namun lebih dari itu. Jika dibiarkan sedetik tanpa siraman, bunga yang kuntum akan layu, dan jika kita biarkan selamanya, ia akan mati, menjalani sakarat dengan hati-hati dan menyakitkan, bukankah semakin lama seseorang sakarat, semakin sakit siksa yang ia timpa. Dan hati manusia akan menjadi gelap, semakin kering, semakin layu, dan retak diseluruh permukaannya. Itulah jiwa tanpa iman, ibarat badan tanpa makanan.
Perubahan hidup pada seseorang bersifat elegan, lembut namun dalam seperti permukaan sumur. Dari perubahan itu semua, cara pandang, gaya hidup, hingga gaya rambut, jarang sekali yang timbul kepermukaan tanpa digali. Perubahan bukanlah seperti tong-tong kosong penuh angin yang tersangkut pada kapal karam yang jika diterpa ombak laut dalam akan serta-merta mendorong dirinya kepermukaan laut. Sistematis, perubahan kadang terjadi karena pertemuan dengan seseorang, atau karena kejadian dan masalah yang terus menimpanya, dan dari hal yang tidak pernah terfikirkan sama sekali.
 Aku terkadang berfikir keras tatkala memperhatikan hal sekitar. Seperti ka'bah di Mekah yang selalu diziarahi oleh orang-orang berhati sebening embun, maka keterbalikan dari itu adalah warung kopi, teronggok seenaknya ditepi jalan, jika mobil-mobil tronton dengan jumlah ban melebihi jari tangan, atau bus-bus antar kota yang ringsek sehingga cocok disebut rongsok lewat didepan warung kopi, dengan gas dan kecepatan brutal, medahului bermacam kendaraan seakan jalan ini milik mbah kakungnya, ditambah lagi selokan kecil dipinggir jalan yang telah beralih fungsi menjadi comberan, menimbulkan bau yang terlalu sedap dihirup oleh hidung. Namun warung kopi tetaplah tempat faforit untuk berkongsi, dari kuli bangunan, sopir-sopir bus dan truk beserta kenek, tukang becak, tukang ojek yang menanti pelanggan, atau orang yang sedang bergaduh dengan istrinya, hingga mahasiswa (seperti saya) tetap memilih warung kopi untuk dikunjungi. 
Sekalipun hanya seminggu sekali ke warung kopi, namun hal itu memberikan bermacam pelajaran yang hanya bisa dipahami oleh otakku sendiri. Seperti sebuah siklus hidup dari sebuah planet, dari ratusan negara, ribuan kota, jutaan desa. Di warung kopi itulah aku mendapatkannya dan memahaminya, seminggu sekali setiap libur malam jumat. Para pengunjung itu mewakili seluruh metafora dan pelajaran moral di planet ini, mereka mewakili gambaran orang lain hampir dalam segala hal, dalam kemiskinan, dalam kemlaratan, dalam masalah yang memuncak seakan meledak dalam tempurung kepala, dalam kesederhanaan, kecongkakan para pemuda kampungan, orang miskin begaya kaya, dalam kerja keras para tukang becak dan ojek, supir-supir truk dan kenek, orang-orang tua menjelang senja, jika mereka datang ke warung kopi, artinya sebagian mereka sedang stress karena satu hal dan satu sumber, kemiskinan, menjalar kepada pertengkaran kecil suami-istri, beranak pada generasi ingusan yang seharusnya duduk di bangku pendidikan namun teronggok di pekerjaan-pekerjaan rendah dengan hasil yang lebih rendah ketimbang usaha dan kerjakerasnya, menjadikan merekaibarat kacungnya para supir truk dan bus, dan jika mereka tua, dengan keadaan tidak berubah sedikitpun kecuali keriput diseluruh kulit dan muka, terpaksa mereka melawan otot dan tulang yang semakin rapuh. Dipikulnya keranjang penuh tahu goreng setiap malam, dikayuhnya sepeda sekuat tenaga membonceng obrok kecil bertuliskan  “SOL SEPATU DAN SANDAL,” jika mereka kaya sedikit, hal itu karena mereka memiliki becak yang dikayuh sejak subuh, dan pulang nanti dilarut iysa dengan membawa segala yang ia dapat.
Pernah dan sering aku jumpai di warung kopi, para tukang becak itu sedikit melirik padaku namun malu-malu menatap mata langsung, "anak tak tahu diri" begitu mungkin pikirnya "orang tua membanting tulang di rumah namun kau disini bersantai di warung kopi." Jika mereka lewat, aku berpura tak melihat, aku merasa malu pada mereka, pada diriku sendiri. Terkadang mereka pulang membawa sayuran, kol dan lainnya untuk kebutuhan esok hingga malamnya, atau mereka membawa kayu-kayu, bahkan membawa pintu rusak. Namun jika mereka sedang galau hingga taraf hampir stress, mereka akan datang ke warung kopi, tak apa sekalipun harus berhutang asal bisa ngopi. Jika perut mereka telah kembung namun perkara belum sirna, mereka berpindah kepermainan remi, atau tertawa terbahak tanpa sebab yang jelas, bermain gitar hingga subuh, tertidur di kursi padahal warung telah tutup pukul satu dinihari.
 Kebahagian terkadang mengalir seperti aliran hujan, mengikuti celah dan garis-garis ditanah, semakin besar garis dan celah itu, semakin penuh dan deras aliranya. Para tukang becak, tukang ojek, supir-supir truk dan bus, mereka mencari kebahagiaan mereka sendiri dan dengan cara mereka sendiri. Mereka menempuh apa yang mereka anggap patut untuk ditempuh, mereka selalu menggali celah dan menciptakan garis dan lubang yang besar, mereka ingin mengumpulkan dengan segenap daya dan upaya, menampunganya dan menyimpannya sedemikian rupa agar mereka selalu bahagia.
 Para pengunjung kopi dan yang semisalnya selalu mencari celah dan garis yang lebar, rata-rata keinginan mereka sama, sama-sama ingin mendapatkan yang terbanyak, sama-sama berusaha tak kenal letih, sama-sama ingin merubah nasib, dan sama-sama berasal dari rakyat miskin kebawah. Miskin kebawah dan bukan menengah kebawah, karena penghasilan mereka selau rendah dan terkadang pula, pulang hanya dengan membawa daun pintu kayu yang rusak. Sekalipun kaki-kaki mereka selalu mengayuh becak yang semakin renta seperti dirinya, sekalipun kenek bus berteriak sekerasnya menarik penumpang, semakin hari kemiskinan semakin menghantui, semakin banyak teriakan kecil di rumah-rumah dan semakin banyak pengunjung di warung-warung kopi.

  Anak-anak mereka yang juga sama persis seperti dirinya tidak pernah merasakan kesejahtraan hidup, maka usai wajib belajar sembilan tahun mereka merantau keluar kota, ingin menjadi lebih baik dari orang tua mereka, mereka enggan menjadi tukang becak keturunan, mereka tidak mau kembali menjadi supir dan kenek bus, namun permainan nasib hanyalah seperti ular tangga, kau harus mengocoknya sedemikian rupa dan sebanyak mungkin dan hati-hati terhadap ular yang akan memangsamu kemudian melemparmu kembali kebawah, kebawah dan sangat rendah. Sehingga sekalipun mereka bekerja keluar kota, bergaya orang kaya, rambutnya seperti orang kaya, bajunya seperti orang kaya, itu hanyalah sekali setelah menabung puluhan bulan demi terlihat lebih baik saat pulang kampung, setahun sekali saat lebaran. Karena mereka tidaklah lebih beruntung daripada ayahnya yang tukang becak atau kenek bus, sekalipun dengan hasil tetap atau tidak sama sekali, mereka harus mencetak batako dan paping-paping, dan perbuah hanya dihargai limapuluh rupiah atau seratus, menjadi kuli bangunan dan bahkan menjadi tukang becak karena mereka tidak bisa bekerja apapun selain menjadi tukang becak dari ajaran ayahnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ANTARA NU, WAHHABI dan SYI`I